Jam tiga malam lewat
seperempat...
Kanda
Akhi Baru saja tertidur setelah
menyelesaikan sebelas rokaat tahajjudnya.
Sementara Dinda Ukhti masih menengadahkan
tangannya memohon kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Setelah selesai berdoa, dia
memperhatikan wajah suaminya yang tengah terlelap tidur menunggu waktu subuh
tiba itu. Perasaannya hanyut dalam keharuan yang dahsyat.
Terbayang dalam benak Dinda
Ukhti, betapa kerasnya perjuangan suaminya selama ini dalam menjaga, melindungi,
membimbing dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan keluarga. Apalagi dalam kondisi bangkerut saat ini,
sungguh terlihat betapa mati-matian suaminya berusaha mempertahankan kehidupan
keluarganya.
Tak terasa, air mata Dinda
Ukhti jatuh menimpa pipi suaminya, yang membuat suaminya sedikit kaget dan
jaga...
“Mama menangis?”
tanya Kanda Akhi sambil bangun dari baringannya.
Dinda Ukhti tidak kuasa
menjawab. Dia memeluk suaminya.
“Maafkan aku, ma...” lanjut
Kanda Akhi merasakan himpitan ekonomi yang melanda keluarganya, “kalo
akhir-akhir ini kondisi ekonomi keluarga kita banyak kekurangannya.”
“Itu gak jadi masalah, pa...”
Dinda Ukhti meng-eratkan pelukannya. Air matanya tambah deras membasahi mukena
putihnya.
Kanda Akhi mengusap-usap
kepala isterinya yang sesenggukan itu. Hatinya terenyuh.
“Aku khawatir
papa sakit,” ujar Dinda Ukhti masih dengan
air mata berlinangan.
“Semoga Alloh selalu memberi
yang terbaik buat kita, apapun itu bentuknya,” balas Kanda Akhi pasrah. “Dan,
semoga kesusahan kita saat ini sebagai ujian dari-Nya...”
“Iya, pa...” angguk Dinda
Ukhti sudah mulai reda tangisnya.
“Kita harus sabar
menghadapinya,” tandas Kanda Akhi. “Hidup ini selalu dipergilirkan. Enggak
selamanya orang yang senang itu dalam kesenangan. Begitu juga, gak selamanya
orang yang susah itu dalam kesusahan...”
“Insya Alloh, pa, Alloh
membantu menguatkan kesabaran kita.” Dinda Ukhti mulai tersenyum meskipun di
wajahnya masih menggurat sisa-sisa bekas tangisnya itu.
“Dan akhirnya, orang-orang sabar itulah yang akan menang...!” Kanda Akhi menatap wajah isterinya
lalu memeluknya.
“Alloh meluaskan rezeki kepada
orang yang dikehendaki-Nya dan menyempitkannya (kepada orang yang
dikehendaki-Nya).
Mereka bergembira dengan kehidupan
dunia,
padahal kesenangan dunia itu bila
dibandingkan dengan kesenangan akhirat itu
hanyalah kesenangan (yang sedikit
dan sementara).”
(QS. Ar-Ro’du:
26).
Adzan subuh sudah terdengar
dari menara mesjid nurul Amal. Mereka kemudian sholat berjamaah bersama dengan
anak-anak yang lainnya.
***
Pagi yang cerah...
Udara terasa segar...
Titik-titik embun berkilauan di dedaunan...
Sejak usaha perdagangannya
bangkerut akibat diterpa badai krisis moneter, Kanda Akhi ikutan coba-coba
berkebun, memanfaatkan waktu sambil menunggu-nunggu peluang lain yang lebih
baik. Ia menanam jagung seperti peladang-peladang lainnya.
Siang harinya, Dinda Ukhti
mengirim nasi dan lauk-pauknya ke kebun. Sambil duduk-duduk di gubuk bambu,
Kanda Akhi menikmati makan siangnya dengan sedap.
“Eh, pa..., pohon-pohon jagung
itu sering dipake perumpamaan lo...” Dinda Ukhti mengisi percakapan.
“Perumpamaan apa?” sahut Kanda
Akhi santai.
“Ituuu... orang-orang yang
kecewa gara-gara cinta...”
“Maksudnya?”
“Mereka sering bilang... ‘cintamu bagaikan seumur pohon jagung’...”
“Oo, ituuu... Kalo cinta mama, gimana?” goda Kanda Akhi.
“Mmm...” Dinda Ukhti
malu-malu.
“Gimanaaa...?”
“Euuu... ‘bagaikan bunga surga yang
selalu berseri selamanya, biarpun musim silih berganti’.
Hihihih...”
“Wuih, cakep banget...!”
Kanda Akhi berusaha hendak
mencubit hidung Dinda Ukhti, tapi isterinya itu segera menghindar dengan
genit...
Mereka berdua tertawa renyah
seiring hembusan angin semilir. Pohon-pohon jagung bergoyang-goyang
bergeresauan seakan-akan ikut bahagia menyaksikan romantika mereka.
Saat waktu zhuhur tiba, mereka
pulang ke rumah. Tinggallah kebun jagung nan hijau itu kembali sunyi dan bisu
seiring perjalanan waktu dan musim yang berganti itu...
******