Setelah menulis puisi itu
serapih-rapihnya di kertas kutih bergambar bunga, Akhi
menlipatnya dan memasukkannya ke dalam amplop tanpa nama dan tujuan.
Malam harinya, Akhi mengikuti
pengajian khusus remaja di Mesjid Nurul Amal rutin satu minggu sekali.
Setelah pengajian usai, Akhi
mendekati Wangsih...
“Tolong titip ini ya buat Seffy.” Akhi menyodorkan amplop yang berisi puisi itu.
“Ada kuliannya gak nih...?”
canda Wangsih.
“Ada, beres lah...” balas
Akhi, entah apa kuliannya itu.
“Bohong, aku cuma becanda,”
tukas Wangsih. “Ya udah, aku bawa ya.”
“Makasih, Wang...” balas Akhi.
***
Dua hari sudah berlalu...
Petang itu, Akhi sedang duduk-duduk
santai sambil membaca buku di beranda rumah. Lalu ada yang menyapanya...
“Salam ‘alaikum...”
ucap suara perempuan.
“Wa ‘alaikum salaaam...”
jawab Akhi. “Eh, Wangsih...”
“Nih, titipan dari Seffy.” Wangsih langsung memberikan sebuah amplop
tertutup rapat. “Aku gak lama ya, ada keperluan lagi...”
“Oh iya. Makasih untuk kedua
kalinya, Wang.” Akhi menerima amplop itu bagai dalam mimpi.
Derrr...!
Hati Akhi bergejolak. Dia
tidak hanya merasa bahagia. Tapi juga, dia harus siap menerima apa yang tidak
sesuai dengan harapannya itu.
Perlahan-lahan Akhi membuka
amplop dari Seffy itu. Dia keluarkan kertas
putih yang dilipat rapih itu. Dan tersibaklah apa yang tertulis di situ...
Ternyata, ahayy...
Kalimat-kalimatnya tak begitu
panjang, namun tusukannya begitu menghunjam
dalam dada Akhi. Dia
tersenyum puas sendirian.
Itu berarti, Seffy menerima uluran tangan Akhi yang bermuatan cinta
itu.
Hari-hari selanjutnya, Akhi
dan Seffy kerap saling berpandangan saat jumpa di pengajian rutin mingguan itu.
***
Setahun berlalu...
Akhi dan Seffy tak lagi saling
bertemu. Terbetik cerita, bahwa mereka telah menempuh jalan hidup
masing-masing.
Namun, “Sekuntum
Bunga Dalam Puisi” itu masih mekar dan tertera dalam buku “Catatan
Monumental” yang tak akan terlupakan, hingga hari ini......
( In Memoriam
Rengasdengklok, March 1987 )
******
No comments:
Post a Comment