PROMO BUKU DULU...
"KETIKA CINTA BERCADAR"
Rp. 46.000,- belum ongkir
Halaman: 224 hitam/putih
Kategori: Novel Islami
Info marketing: 08977745997 (wa, line), 085881692854
Atau klik: www.rasibook.com
"KETIKA CINTA BERCADAR"
Rp. 46.000,- belum ongkir
Halaman: 224 hitam/putih
Kategori: Novel Islami
Info marketing: 08977745997 (wa, line), 085881692854
Atau klik: www.rasibook.com
Petang hari yang cerah...
Awan-awan putih berarak di kebiruan langit, bagai gulungan ombak yang
berkejaran di lautan lepas tanpa batas.
Angin semilir berhembus
menyejukkan suasana yang masih terasa panas di bumi, seiring kebisingan yang
tak pernah henti.
Rowan
duduk sendirian di pinggir kebun yang bersebelahan dengan area
persawahan yang luas terhampar. Sesekali pandangannya jatuh pada petak-petak
sawah yang sebentar lagi akan panen padi, dan sesekali tengadah ke awan-awan
yang bergumpal di angkasa biru. Ada semacam pesimisme menyelinap dalam
sanubarinya yang terdalam, yakni soal feeling-nya pada Riyani.
“Hei...!” tiba-tiba seseorang
mengagetkan Rowan dari belakang. Dari suaranya dia tahu siapa yang datang
itu.
“Datang ngegetin orang,”
sungut Rowan pada Riki. “Ucapkan salam, dong!”
“Iya, sorry. Aku ulangi nih, assalamu
‘alaikum...” ujar Riki sedikit mangkel.
“Wa ‘alaikum salam wa
rohmatullohi wa barokatuh,” jawab Rowan sempurna.
“Lengkep banget jawabannya,”
komen Riki sambil meletakkan pantatnya di sebelah kanan Rowan.
“Kamu ke sini mau ngebahas
soal salam?” tanya Rowan merasa terusik.
“Ya bukan lah...” jawab Riki
agak sewot. “Mau nemenin kamu supaya gak jadi patung sendirian...”
Sesaat kemudian mereka berdua
asyik menikmati kebisuan suasana bersama angin yang masih berhembus dengan
sejuk itu.
Tak berapa lama selanjutnya...
“Kayaknya ada yang dipikirin
ya?” tanya Riki menebak-nebak.
“Tuh...” Rowan menunjuk ke
arah awan-awan yang bergelantungan di langit.
“Ooo...” Riki manggut-manggut
diiringi senyum. “Yaa... Aku jadi ingat dengan puisi kamu itu tempo hari.
Yang... kalau tidak salah judulnya... PUISI CINTA DI ATAS AWAN.”
“Iya, kan?” tandas Riki
mengingatkan Rowan pada puisinya itu.
“Yeah...” angguk Rowan.
“Wan, puisi boleh digantung di
atas awan, tapi cinta harus ril di bumi ini...”
“Udah pinter ya, otak kamu
sekarang...”
“Heh! Emangnya kemaren-kenaren
aku bodoh apa?”
“Ya, kan, ngomong pinternya
baru sekarang...”
“Aaah, kamu ini... Belom
ngerasain kecebur di sawah ya...?”
“Udah ah ngelanturnya,” tukas
Rowan. “Nah, sekarang apa ide kamu?”
“Kalo emang kamu naksir Riyani, tembak aja dia langsung, pake puisi kek, pake
bunga kek, pake telpon kek, pake sms kek, asal jangan pake pistol senjata api
aja. Enggak usah lama-lama lagi. Anak zaman sekarang kok penakut sih. Lagian,
apa-apaan cinta mau digantung di atas awan...” jelas Riki gregetan.
“Kamu kan tau, Riyani itu anak
konglomerat. Gak level lah sama aku.”
“Lantas, kenapa kamu jatuh
cinta sama dia?”
“Yaa... nggak tau lah, itu
urusan hati...”
“Nah, tuh kamu tau, bahwa
cinta itu urusan hati. Bukan urusan harta, iya kan?”
“Iya sih...”
“Ketauan sekarang, yang bodoh
itu kamu, bukan aku...”
“Oke-oke... Akan aku coba
idemu itu.”
“Nah, itu baru cakep.
Biarin... awan aja yang bergantungan di sana... kayak monyet di pohon-pohon...”
Rowan dan Riki meninggalkan
pinggiran kebun itu saat matahari petang makin condong menuju senja temaram.
Mereka akan bertemu lagi besok di sekolah.
***
Sudah empat hari ini, Riyani
tidak nampak di sekolah. Rowan merasa
kehilangan. Entah kenapa tiba-tiba dia kehilangan gairah. Seperti ada yang
hilang sebelah hatinya.
Kemudian Riki datang
membawa berita-duka, membuat hati Rowan makin pecah berkeping-keping...
“Menurut keterangan yang aku
dapet, katanya Riyani itu udah lama mengidap
kanker hati,” jelas Riki dengan mimik sedih. “Dan beberapa hari kemaren dia
mengalami koma, hingga akhirnya hari ini dia meninggal...”
Rasanya Rowan ingin
berteriak-teriak menangis sejadi-jadinya. Dia ingin protes pada Tuhan. Kenapa
orang yang sedang ditaksirnya dipanggil pulang ke akhirat yang tak akan pernah
kembali lagi ke dunia ini. Betapa penyesalan dalam hatinya sangat berat.
“Kamu denger gak, di mana
Riyani dimakamkan?” tanya Rowan dengan air mata berlinangan.
“Di pemakaman umum. Kalo kamu
ke sana, saat kamu lihat kuburan baru yang masih basah tanahnya di barisan
sebelah kiri dari pintu masuk, itulah makamnya.”
Rowan segera meluncur ke
pemakaman umum itu. Dia ingin menumpahkan seluruh isi hatinya yang selama ini
dipendamnya terhadap Riyani. Tak mengapa Riyani tak bisa lagi mendengar dan
menjawabnya. Setidaknya akan berkurang beban di hatinya...
Sampai di pemakaman, Rowan
langsung menuju kuburan baru yang masih basah tanahnya itu. Dia menjatuhkan dua
lututnya pada tanah kuburan itu. Sambil menahan rasa sedih diiringi tetesan air
mata, bibirnya dengan bergetar menumpahkan kata-kata yang lirih...
“Riyani...
Meskipun kau sudah tak ada lagi di hadapanku, rasanya ingin ku beri tahu
padamu, bahwa selama ini aku menyukaimu. Dan baru saja aku akan menyatakan rasa
suka itu padamu, kau malah sudah pergi jauh meninggalkan dunia ini...”
Rowan mengusap air matanya.
Dan lanjutnya...
“Dan sekarang... aku
benar-benar harus menggantung cinta ini pada awan-awan yang melayang itu. Aku
benar-benar sudah tak dapat mengejarmu lagi, dan tak kan pernah bisa
menggapaimu lagi...”
“Rowan...”
Rowan seperti mendengar ada
orang memanggilnya. Tapi dia tak peduli, mungkin itu hanya halusinasinya saja.
“Rowan...”
Sepertinya Rowan mendengar
lagi panggilan itu. Tapi dia masih tak peduli.
“Rowan...”
Untuk ketiga kalinya Rowan
jadi penasaran dengan suara panggilan itu. Dan seandainya ada hantu di siang
hari, dia tidak akan lari.
Saat Rowan membalikkan
badannya ke belakang, betapa terkejutnya dia menatap orang yang berdiri di
hadapannya itu. Dia berusaha menguatkan kakinya agar tetap bisa bertahan
berdiri, meskipun bayangan-bayangan tentang hantu di pikirannya terus menteror
jiwanya...
“Apakah kamu hantu?” tanya
Rowan dengan nafas menyesak di dada.
“Bukan,”
jawab orang itu sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Bukankah kamu sudah mati?”
tanya Rowan lagi.
“Belum,”
jawab orang itu.
Rowan belum bisa percaya
dengan apa yang dilihatnya itu...
“Hei, Rowan...!” teriak suara dari balik pagar kawat
pemakaman, yang ternyata adalah Riki dari atas motor trail antiknya itu.
“Masihkah mau kamu gantung terus cintamu itu pada awan-awan di langit sana itu?
Bersiap-siaplah...! Sebentar lagi awan-awan itu akan menjatuhkan hujan ke bumi.
Menangislah buat kebahagiaanmu hari ini...!”
“Jadi semua ini adalah
rekayasa kamu, genduuut...!” balas Rowan berteriak.
Rowan lalu mengambil tanah
kuburan yang masih basah itu, dan menimpuki Riki bertubi-tubi.
“Tunggu-tunggu dulu, Wan!”
“Gak perlu lagi ada
penjelasan!”
Rowan terus menimpuki Riki
bertubi-tubi, hingga akhirnya Riki ngacir dengan trail antiknya itu.
“Janganlah
begitu sama Riki,” ujar orang perempuan itu yang ternyata adalah
Riyani.
“Maksudku, supaya dia segera
pergi, gitu. Kan tinggal kita berdua di sini...” jawab Rowan yang sudah percaya
kalau orang perempuan di depannya ini adalah benar Riyani. Terasa syahdu dalam
hatinya memandang Riyani saat ini.
Ketika hujan mulai gerimis,
Rowan dan Riyani meninggalkan pemakaman umum itu. Tak lama hujan turun dengan
deras.
Sementara Rowan dan Riyani
sudah berada di rumah masing-masing. Kayaknya, mereka sama-sama lagi tersenyum
membayangkan apa yang baru saja dialaminya......
********
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete