KU PINANG KAU
DENGAN PUISI
Teng...!!!
Bel masuk berbunyi.
Hari ini kelas 3B adalah
pelajaran Bahasa Indonesia pada jam pertama. Bu Naysya sebagai
guru Bahasa Indonesia sudah siap memberikan materinya.
“Anak-anak,” ujar Bu Naysya.
“Hari ini ibu beri tugas kalian untuk membuat puisi.”
“Temanya apa, bu?” tanya
murid-murid.
“Bebas,” jelas Bu Naysya. “Ibu
ingin tahu mood apa yang ada dalam otak dan perasaanmu saat ini.”
“Baik, bu,” angguk
murid-murid.
Suasana kelas jadi hening.
Pikiran murid-murid sibuk mencari kata-kata yang bagus untuk dirangkai jadi
sebuah puisi.
Suasana hening hingga bel
istirahat berbunyi. Murid-murid segera menyerahkan puisinya ke meja Bu Naysya.
Bu Naysya membawanya pulang untuk diperiksa di rumah.
***
Esok harinya, di halaman sekolah...
“Hai, Galang...” seru Omah,
anaknya Bu Naysya.
“Eeh, Omah...” Galang
menghentikan langkahnya. “Ada apa?”
“Mmm...” Omah senyum-senyum. “Pinang aku juga, dong...”
“Pinang?” Galang bengong.
“Pinang temennya makan sirih itu?”
“Bukan ituuu...” Omah klamas-klemes.
“Ooo... Pinang dibelah dua
maksudnya?”
“Ih, bukan itu jugaaa...”
“Lalu...?”
“Pinang yang ada dalam puisimu
ituuu...”
“Ooo, ituuu... Ya nanti aku
cariin dulu daon sirihnya.”
Galang merasa geli dalam hatinya.
“Buat apa?” tanya Omah kesal.
“Katanya kamu mau makan sirih.”
“Emang gue nenek-nenek apa?
Uh...!”
Omah lalu pergi dengan kesal.
Galang memandangi kepergian
Omah sambil senyum-senyum. “Yang ku pinang gadis
Bandung, yang datang malah gajah Lampung. Ya Alloh, astaghfirulloh...,” gumamnya
sendirian.
***
Tak terasa sudah bertemu lagi
dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Murid-murid sudah menunggu apa yang akan
diberikan oleh Bu Naysya.
“Sekarang ibu ingin tahu
ekspresi kamu dalam membawakan puisi,” ujar BU Naysya. “Coba silahkan satu per
satu maju ke depan kelas. Beri acungan jempol buat puisi yang menurut kalian
bagus.”
Satu per satu anak-anak kelas
3B tampil ke depan kelas mengekspresikan puisi yang telah dibuatnya sendiri.
Tibalah giliran Galang untuk membacakan
puisinya ini...
KU PINANG KAU
Ku pinang kau
dengan untaian puisi
yang kan melekat
dalam dinding hatimu
Ku tunggu kau
di pantai sepi kesendirian
di bawah mendung bermuatan halilintar
di tengah gemuruh ombak yang mencekam
bersama pinanganku yang tak lebur oleh waktu...
Hampir semua anak-anak
memberikan acungan jempol pada Galang. Sementara Galang hanya tersenyum saja.
“Galang, tunggu sebentar,”
tahan Bu Naysya.
“Ya, bu.” Galang tak jadi
pergi duduk ke bangkunya.
“Di antara puisi-puisi
teman-temanmu yang ada, yang lebih memiliki karakter penjiwaan hanyalah puisi
kamu ini.”
“Huuuhhh...!” seru anak-anak.
“Apakah di antara gadis-gadis
cantik di kelas ini ada yang ingin kamu pinang?” tanya Bu Nay sambil tertawa
kecil.
Galang tersenyum malu. Tak ada
jawaban dari bibirnya. Sementara matanya melirik ke arah Ayna yang duduk di bangku
depan sebelah kirinya. Ayna kemudian menundukkan wajahnya.
***
Saat pulang...
Galang dan Ayna jalan beriringan. Mereka saling berdekatan,
nampak biasa-biasa saja.
“Belajar Bahasa Indonesia
kayak bukan pelajaran ya...” Galang memulai pembicaraan.
“Begitulah mungkin...” balas
Ayna. “Tapi puisi kamu tadi bagus juga tuh.”
“Segala sesuatu kalo dibuat
dengan hati, hasilnya akan berbeda...” ujar Galang diplomatis.
Ayna manggut-manggut. “Eh,
kalo boleh tau, ada seseorang
yang dituju dari puisi itu?” tanyanya.
“Mmm...” beberapa detik Galang
mengulur waktu, dan selanjutnya ucapnya, “Gimana kalo ke... kamu aja...?”
“Apa?” Ayna menghadang jalan Galang.
Galang menghentikan
langkahnya.
Mereka saling berhadapan dan berpandangan.
“Kamu becanda ya?” tanya Ayna tak yakin.
“Serius kok,” balas Galang pasti.
“Tapi kan, kita masih sekolah,
masa sih pinang-pinangan?”
“Anggap aja itu sebuah ikatan
janji...”
Suara klakson motor dan mobil
yang berhenti, bersahutan silih berganti. Galang dan Ayna tidak menyadari kalau
posisi mereka berdua makin merayap ke tengah jalan raya. Seorang polisi datang
menghampiri mereka berdua...
“Ade-ade...” tegur pak polisi
sambil geleng-geleng kepala menyaksikan ulah anak muda zaman sekarang. “Kalau
mau akting, jangan di jalanan. Lihat, mengganggu arus lalu lintas...”
“Oh iya, pak, kami mohon
maaf...” ujar Galang dan Ayna menyadari kelalaiannya.
Di persimpangan jalan, Galang
dan Ayna berpisah menuju rumah masing-masing. Dalam benak dan perasaan mereka,
sama-sama tumbuh sesuatu yang terasa indah untuk dikenang.
******
No comments:
Post a Comment