Inilah buku "KETIKA CINTA BERPUISI".
Ialah kumpulan cerpen yang ada di blogspot ini. Untuk ringkasannya, silahkan klik di : sabdaalqushwa.blogspot.com / BUKU "KETIKA CINTA BERPUISI" (SINOPSIS).
HARGA : RP. 110.000,-
Tebal : 181 halaman (24 warna + 157 hitam/putih)
Jangan lupa , beli ya....
KETIKA CINTA BERPUISI
(CERITA
PENDEK FTV: FIKSI TEKS VISUAL)
“Ahh...”
Entah sudah berapa kali Alyando mendesah.
Bayangan gadis itu begitu lekat menguntit
perasaannya.
Mungkinkah dia sedang jatuh cinta? Dia
sendiri belum bisa mendeteksi secara detil perasaannya itu.
Tapi coretan-coretan di buku memorinya ini
menggambarkan bahwa dia memang sedang terkenang dengan seseorang...
Sejak
mata bertumbuk pandang
saat
itulah awal kita jumpa
Angin
yang semilir...
Geresau
daun yang meliuk...
Nyanyian
burung yang mengusik...
Adalah
ornamen-ornamen temu kita selanjutnya
......
Ya, itulah “coretan awal jumpa” dengan
gadis bernama Jesika itu, murid pindahan baru di sekolahnya, yang sekaligus
sebagai “awal ketertarikan”-nya pada gadis baru itu.
“Heh, suka ya sama Jesika?” sentak Riki
membuyarkan keasyikan tatapan Alyando pada Jesika saat itu.
“Apa sih?” kilah Alyando.
“Gak usah ngelak. Dari sorot mata lu aja,
gue bisa tahu...”
“Aah..., sota kamu ini...!”
“Emang iya lah... Tulis sono tuh dalam
puisi-puisi lu...!”
Dalam hatinya, Alyando memang tidak bisa mengingkari
apa yang sedang terjadi pada dirinya itu. Dan inilah buktinya...
Diam-diam
ada
yang lepas dari dinding hatiku:
ada
yang tercuri dari isi dadaku
......
Ê
Bel pelajaran usai berbunyi.
Alyando mengawasi Jesika. Dia berharap bisa
pulang bareng. Sementara Riki tak dipedulikannya. Tiba-tiba Heksel mendekati
Jesika...
“Jes, bareng yuk?” suara Heksel dari belakang.
“Mmm...” Jesika ragu.
“Udah lah, gak usah mikir panjang, hayuk!”
tarik Heksel.
Jesika tak bisa mengelak lagi.
Alyando memandanginya dengan rasa kecewa
dan kesal. Batinnya berbisik, kenapa
gue cemburu, ya?
Lalu, esoknya Alyando cari pendapat ke Riki..
“Gini, Rik...,” cerita Alyando. “Ada cewek,
katanya cemburu lihat gue sama cewek lain.”
“Siapa cewek itu?” tanya Riki.
“Gak usah nanya siapa dia.”
“Oo... Itu namanya si cewek suka sama elu.
Gitu aja gak paham sih...!”
“Ee... Gue kan minta pendapat lu. Siapa tau
perut segede gentong ini isinya bukan cuma kolesterol doang...”
“Ini gentong ajaib, tau!” Riki sewot.
“Oke-oke...” Alyando kembali ke
permasalahan. “Tapi kan cewek itu bukan pacar gue.”
“Ya bisa aja, orang cemburu itu gak mesti
jadi pacar.”
“Trus, kalo dia nyatain cintanya sama gue,
salah gak dia?”
“Ya gak salah. Bilang cinta itu kan hak
semua orang. Tinggal masalahnya, elu mo terima apa gak?”
“Ya-ya-ya...” Alyando manggut-manggut.
“Eh, ngomong-ngomong, siapa sih cewek itu?”
Riki masih penasaran.
“Emak lu!”
“Gue banting lu ah!”
Ê
Sebenarnya, Alyando sendiri bisa
meraba-raba perasaan apa yang sedang berkecamuk dalam dadanya itu. Hanya saja,
untuk lebih meyakinkan lagi, apa salahnya
minta pendapat teman, pikirnya.
Dan memang benar sih... Dia suka sama Jesika.
Masalahnya sekarang: bagaimana menyatakan rasa suka itu? Kapan waktunya? Terlambat
sedikit, bisa saja Jesika sudah disamber orang lain, terutama oleh Heksel yang
juga menyukai Jesika.
Tiba-tiba muncul ide di benak Alyando...
“Lya...!” panggil Alyando.
“Gue?” yang dipanggil menunjuk dadanya.
“Ya elu... Emang ada berapa sih Lya di
sekolah ini?”
“Banyak kalee...”
Lya segera mendatangi Alyando. Dia senang
sekali. Kalau tidak teriak-teriak dan menjerit-jerit, itu namanya bukan Lya.
“Aduuh, iih, aah... Ada apa, cowok
ganteng?”
“Belom lengkep, eeh, ooh...”
“Eeh, ooh... udah gak sabar nih, ganteng.”
“Santai
aja kali...”
“Bawaannya deket cowok ganteng itu,
gimanaa..., gitu...”
“Gini...” Alyando mulai menjelaskan. “Kita
kerjasama, mau gak?”
“Aduh, mo banget. Kerjasama apa tuh?”
“Tapi gak ada bayarannya.”
“Sama cowok ganteng mah, gratis juga gak
apa-apa.”
“Oke, diil.”
Alyando menyodorkan tangannya, langsung
disamber oleh Lya sambil cengangas-cengenges
wajahnya.
“Udah, jangan lama-lama jabatan tangannya.”
Alyando menggerak-gerakkan tangannya supaya dilepaskan.
“Baru ngerasain sih...”
Dasar Lya..., cari-cari kesempatan melulu
kalau ada maunya, bikin cerita jadi panjang...
“Gini,” ulang Alyando kembali ke
permasalahan. “Kasihin kertas ini ke Jesika.”
“Cuma kertas gini? Udah itu doang?”
“Ya.”
“Gak pake amplop?”
“Gak usah lah.”
“Boleh dibaca?”
“Baca aja, bukan rahasia kok.”
“Kasihin sekarang?”
“Kalo tahun depan keburu kiamat.”
“Eh, jangan kiamat dulu, gue belom kawin!”
“Tenang aja... ada Riki.”
“We...! Gentong aer... itu mah...” cibirnya
sambil meninggalkan Alyando.
Ê
Alyando sudah tiga kali menitipkan secarik
kertas kepada Lya untuk disampaikan kepada Jesika. Kertas-kertas tersebut
berisi puisi-puisi...
Kertas pertama berisi puisi...
Sejak kau mampir di bening mataku
kau jadi bayangan di setiap langkah ku
ayun
menggandeng asaku ke mana ku pergi
Kertas kedua berisi puisi...
Ku tak pernah mengundang cinta datang di
hatiku
dia hadir sendiri tanpa ku sadari
bagai pencuri di malam gelap
Kertas ketiga berisi puisi...
Kalau boleh ku berkata jujur:
“ku tlah jatuh cinta padamu”
bila ku harus diam tanpa kata
kan ku simpan selalu gelora ini
dalam rasa
“Mana jawabannya?” tanya Alyando tak sabar.
“Mene ketehe...” jawab Lya sambil
mengangkat pundaknya. “Mungkin dia gak ngerti, ato gak suka puisi...”
Alyando tidak banyak tanya lagi. Dia
langsung lemas, merasa usahanya sia-sia. Tapi dia masih penasaran. Mungkinkah
dia sendiri yang harus menyampaikan puisi-puisi itu kepada Jesika, sekali lagi?
Ah, dia merasa ragu-ragu. Jangan-jangan memang Jesika itu tidak suka dengan
puisi, dus tidak mau menerima isyarat-isyarat cinta yang dilontarkannya itu.
Beberapa hari Alyando nampak murung, kurang
gairah. Dan dia menjaga jarak dengan Jesica. Ada rasa malu dalam hatinya,
seolah-olah Jesika itu sudah tahu kartu hatinya yang kekanak-kanakkan itu.
Anehnya, Jesika nampak biasa-biasa saja,
seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa. Ataukah dia menganggap puisi-puisi
Alyando yang dititipkan lewat Lya itu sesuatu yang tidak penting dan tak ada
sentuhan apa-apa dalam hatinya?
Ê
Dalam kegalauannya, Alyando terdorong
keinginan yang kuat menulis sebuah puisi lalu dipajang di papan pengumuman
sekolah...
BERTEPUK SEBELAH TANGAN
Tak mengapa tak kau sambut sepuluh jemariku
mungkin masih ada halaman sepi lain
tuk bacakan puisiku ini
Setelah ku tahu
taklah mungkin kupaksakan diri:
menitipkan hatiku di sebelah jantungmu
Maafkan aku
yang telah jatuh cinta
padamu...
Alyando benar-benar nekad!
Sepontan heboh di sekolah. Nyaris semua
murid membicarakan puisi yang tidak layak tempat itu. Pak Bandi, wali kelas 3B
kelasnya Alyando, langsung mencopot selebaran puisi itu, dan memerintahkan
kelas 3B masuk ke kelas.
“Adakah di antara kalian yang membuat puisi
ini?” tanya Pak Bandi sambil menatap tajam.
“Tidak tahu, pak.” Semua murid-murid menggelengkan
kepala, kecuali Alyando yang menunduk.
“Biasanya kan yang jago bikin puisi...
Alyando, pak,” ujar salah seorang murid.
Semua menatap ke arah Alyando.
“Tanpa berniat menuduh kamu,” tanya Pak
Bandi, “Apakah puisi ini bikinan kamu, Alyando?”
“Iya, pak,” jawab Alyando jujur.
“Maju kamu ke depan!”
Alyando bangkit menuju depan kelas.
“Apa tujuan kamu membuat puisi ini dan
memajangnya di papan pengumuman sekolah?” tanya Pak Bandi menggelegar.
“Supaya dibaca orang-orang, pak,” jawab
Alyando enteng.
“Kamu tahu? Papan pengumuman itu bukan
majalah dinding!”
“Ya, pak.”
“Baiklah, untuk kali ini kamu dimaafkan.
Tapi, ini peringatan keras buat kamu.”
“Baik, pak, terima kasih.”
Kemudian kelas dibubarkan.
Saatnya istirahat. Anak-anak banyak yang
membicarakan kasus Alyando tadi. Tiba-tiba suara Pak Bandi...
“Alyando! Sini kamu...!” panggil Pak Bandi.
“Ya, pak.” Alyando menghampiri.
“Tolong buku-buku ini berikan kepada Bu
Rini di ruang kantor.”
“Siap, pak.”
Ketika
Alyando hendak masuk ruang kantor, dia bertabrakan dengan seorang guru
yang hendak keluar. Buku-buku yang dibawanya berjatuhan. Dia ambil satu persatu buku-buku itu dibantu
oleh guru yang menabraknya itu.
Dan... Ada secarik kertas yang jatuh
bersama buku-buku itu. Alyando membacanya sambil senyum-senyum.
Setelah buku-buku diterima oleh Bu Rini,
Alyando kembali menemui Pak Bandi yang masih menulis di ruang kelas.
“Sudah kamu berikan?” tanya Pak Bandi.
“Sudah, pak,” jawab Alyando.
“Ada apalagi?” Pak Bandi menatap Alyando.
“Ternyata nasib kita sama ya, pak.
Sama-sama ‘bertepuk sebelah tangan’...” ujar Alyando menyindir sambil
senyum-senyum.
Sesaat Pak Bandi terkejut.
Waduh,
jangan-jangan Alyando membaca puisi yang diselipkan di salah satu buku-buku
tadi itu, bisik hati Pak
Bandi.
Iya
sih, Al, kita sama-sama ‘bertepuk sebelah tangan’. Ga tau tuh, Bu Rini belum
juga mau menerima uluran tanganku yang penuh cinta ini...
Malu
juga Pak Bandi rahasianya itu ketahuan. Dan lebih malunya lagi, puisi yang akan
diberikan kepada Bu Rini itu ialah puisi buatan Alyando yang dipermasalahkan
itu. Rupanya dia sudah mengutipnya.Tapi dia berusaha tenang sebagai seorang
guru.
“Itu sih nasib kamu aja. Sudah sana, jangan
mengganggu bapak...”
“Baik, pak.”
Ê
Dalam perjalanan pulang, Jesika mendekati
Alyando, tak dihiraukannya ajakan pulang bareng Heksel.
“Hei, Alyando...”
Alyando menoleh ke kanan. Dia terkesima Jesika
sudah ada di sampingnya. Sungguh di luar dugaan. Dia sejajarkan langkahnya.
“Gue ikut perihatin atas kejadian yang
menimpa kamu tadi,” ujar Jesika pelan.
“Terima kasih, Jes,” sahut Alyando. “Gak
apa-apa, biasa aja...”
“Kalo boleh tau, tertuju ke siapa sih puisi
tadi itu?” tanya Jesika takut-takut.
“Seseorang...”
Rasanya
udah gak ada artinya lagi kalo gue jawab jujur, Jes, bisik Alyando dalam hati.
“Apa... ada hubungannya sama... Lya?”
“Maksud kamu?”
“Beberapa minggu yang lalu Lya cerita,
katanya dia dapet kiriman puisi-puisi dari seseorang. Gue sendiri sempat
membacanya. Bagus-bagus sih puisinya... ”
Alyando tersentak. Hatinya menggerutu...
Berarti
Lya nggak ngasih puisi-puisi gue itu ke Jesika. Dasar gambreng...!
“Kenapa, Al?” tanya Jesika melihat
perubahan wajah Alyando.
“Nggak... Ada yang lucu aja.” Alyando menutupi
rasa mangkelnya terhadap Lya.
Setibanya di rumah, Alyando tidak
berlama-lama lagi, langsung tancap gas menuju rumah Lya.
“Pantesnya diapain nenek gambreng itu
ya...,” gumamnya sepanjang jalan.
“Lu gak jujur sama temen!” semprot Alyando
setelah bertemu Lya. “Kenapa lu gak sampein titipan gue ke Jesika ituuu...?”
“Tau dari mana lu?”
“Jesika sendiri tadi bilang.”
“Abisnya..., gue sendiri seneng sama
puisi-puisi itu. Gue ngebayangin..., andainya aja... gue yang dikasih
puisi-puisi itu...”
“Kita ini temenan, dan sampe kapanpun tetep
temenan!”
“Ya ya, gue ngerti. Maafin gue, Al. Gue
ngaku salah. Ntar gue jelasin sama Jesika, dan gue bakal bantuin lu. Suer...”
“Ya udah, gue pulang...”
Ê
Ternyata, ada hikmah yang lebih besar di
balik heboh puisi “Bertepuk Sebelah Tangan” itu. Sesuatu yang selama ini
tertutupi, jadi terbuka.
Alyando dan Jesika baikan lagi...
Alyando dan Jesika baikan lagi...
Kini puisi-puisi Alyando menemukan jalan
mulus menuju Jesika, meskipun belum ada kata sepakat dalam cinta.
“Nih, satu lagi...” Alyando menyodorkan
puisi yang baru sepulang sekolah.
“Mana-mana?” Jesika menerimanya dengan
senang hati, dan langsung membacanya...
Sebenarnya
sebelah
hatiku telah jatuh
di
depanmu
Ku
pendam selalu
rasa
ini
Ah,
bisakah kau rasakan
apa
yang sedang ku rasakan ini?
“Gombal...” komen Jesika sambil
ketawa-ketawa.
“Serius...” timpal Alyando
“Ah, tukang bikin puisi mah bisa aja
ngotak-atik kata-kata.”
“Tapi apa yang gue tulis itu... lahir dari
rasa yaaaang... terdalam.”
“Pret, ah...!”
Mereka sama-sama gembira...
Ê
Hari ini ada razia isi tas di kelas
masing-masing. Sasarannya ialah narkoba, hape, buku porno, gegaman/senjata, dan
barang-barang lain yang tidak ada kepentingannnya dengan urusan sekolah.
Semua kelas dikosongkan. Hanya tim razia
yang boleh masuk.
Giliran tas Alyando. Tidak ada
barang-barang terlarang, kecuali sebuah buku...
Kemudian Alyando dipanggil ke kantor. Di
sana dia diinterogasi oleh seorang guru.
“Untuk apa buku ini di bawa ke sekolah?”
tanya guru interogator sambil memperlihatkan buku yang berjudul KATAKAN CINTA
DENGAN PUISI itu.
“Yaa... untuk bacaan santai aja, pak,”
jawab Alyando tenang.
“Apakah buku ini bisa membantu pelajaran
sekolah?”
“Dalam pelajaran Bahasa Indonesia kan ada
belajar membuat puisi, pak.”
“Tapi buku ini isinya puisi cinta melulu!”
“Huuuhhh....!!!” seru anak-anak di luar
yang menyaksikan lewat kaca.
Alyando terdiam. Terserah mau diberikan
hukuman apapun, dia pasrah.
“Baiklah,” lanjut guru interogator, “Buku
ini ditahan dulu. Kamu bisa mengambilnya setelah ada izin dari wali kelasmu.”
“Ya, pak.”
“Silahkan keluar.”
Alyando berjalan keluar. Di ambang pintu
keluar dia melihat Jesika menghindar. Ada rasa malu di hatinya. Beberapa hari
ini, dia sudah membuat dua kali kasus yang mungkin memalukan. Dibiarkannya
Jesika pergi.
Dan... Pada saat pulang, wajah Jesika
terlihat masam dan cuek. Alyando makin malu dan merasa bersalah. Dia beranikan
diri mendekati gadis itu.
“Jes...” suara Alyando gamang.
Jesika hanya menoleh, tanpa kata, membisu.
“Jes...” ulang Alyando. “Kalo kamu malu
berteman sama gue lagi, yang udah dua kali bikin masalah di sekolah, gue
terima. Tapi, kamu masih mau kan baca puisi-puisi gue?”
“Buat apa baca puisi saduran dari buku
orang laen, ” sahut Jesika ketus. “Kalo mau, gue beli aja sendiri bukunya. Gue
kira puisi-puisi itu karya kamu sendiri.”
“Ya emang karya gue, Jes.”
“Karya menjiplak, gitu?”
“Itu emang buku gue, Jes.”
”Iya, dapet beli, kan?”
“Maksud gue...”
“Udah lah, gue duluan!”
“Jes...!”
Jesika tak menghiraukan Alyando.
Ê
Esoknya di kantin sekolah, Alyando
termenung sendirian, hanya ditemani segelas minuman di hadapannya. Pikirannya
sedang mencari cara agar bisa baikan lagi dengan Jesika. Dan tiba-tiba...
“Hei! Bengong aja...!”
“Dasar gambreng lu...”
“Kenapa?”
“Gue lagi cari ide nih.”
“Ide buat bikin puisi? Kan tinggal nyadur
aja...”
“Sok tau lu.”
“Kemaren sore gue dapet telpon dari Jesika,
katanya puisi-puisi lu itu saduran dari buku KATAKAN CINTA DENGAN PUISI yang
ditahan pihak sekolah ituuu...”
“Itu salah paham. Justeru itu yang pengen
gue jelasin ke Jesika. Oke... Sekarang lu dulu dengerin nih...”
Lya memasang telinganya, diiringi kebiasaan
mulutnya yang menganga. Untung saja tidak ada lalat yang berseliweran di
sekitarnya.
“Gini...” lanjut Alyando. “Buku KATAKAN
CINTA DENGAN PUISI itu adalah karangan gue...”
“Aah... Tapi di situ tertulis pengarangnya
ialah Sabda Al-Qushwa.”
“Itu nama bokap gue.”
“Bukan Ibnu
Husna nama bokap lu?”
“Lengkepnya Sabda Ibnu Husna Al-Qushwa.”
“Baru tau gue...” Lya garuk-garuk kepala.
“Kenapa gak pake nama lu sendiri aja?”
“Gue pengen menghormati bokap gue.” Lanjut
Alyando, “Nah, buku itu baru gue cetak dua buah sebagai contoh aja buat
promosi. Sekarang gue lagi nyari donatur ato orang yang mau bekerjasama untuk
menerbitkannya.”
“Oo... gitu, ya. Hebat lu...”
Ê
Sore harinya Lya menemui Jesika di
rumahnya...
Kemudian Lya menceritakan obrolannya dengan
Alyando itu kepada Jesika. Antara percaya dan tidak, Jesika mendengarkannya
manggut-manggut.
“Sekarang terserah lu...” Lya tak mau tahu.
“Lu mo percaya atawa gak...”
“Sementara ini gue percaya aja deh...,”
sahut Jesika sumringah.
“Berarti, masalah lu sama Alyando udah clear ya?”
“Beres...”
“Dil.”
Mereka bertepukan tangan sambul diiringi
ketawa renyah...
Ê
Di taman sekolah...
“Maafin gue ya, Al,” ucap Jesika diiringi
senyum manisnya.
“Gak apa-apa,” jawab Alyando bahagia
sekali. “Eh, ini satu buat kamu...”
Jesika senang sekali menerima buku KATAKAN
CINTA DENGAN PUISI itu. Bolak-balik dipandanginya. Senyumannya tambah manis.
“Coba, puisi mana yang paling kamu sukai?”
tanya Alyando menggoda.
“Halaman 72,” jawab Jesika pasti.
“Itu kan ‘bertepuk sebelah tangan’...”
“Ya, emang ‘bertepuk sebelah tangan’
kamu, kan?”
“Siapa bilang?” goda Alyando.
“Emangnya, siapa yang nerima kamu?” Jesika
buang muka.
“Mo tau nih?”
“Nggak.”
“Bener?”
“Bener.”
Romantika mereka terputus, saat bel masuk
terdengar kembali. Mereka segera menuju kelas untuk melanjutkan pelajaran
hingga selesai.
Ê
Hari ini Jesika benar-benar bahagia sekali.
Dipandanginya buku pemberian Alyando itu berulang-ulang. Sesekali didekapnya ke
dadanya yang berbunga-bunga.
“KATAKAN CINTA DENGAN PUISI...,” gumamnya
sambil mengusap-usap buku kumpulan puisi-puisi cinta itu.
“O iya...,” tiba-tiba Jesika ingat sesuatu.
“Tadi aku diminta Alyando untuk membaca halaman
47.”
Dan inilah isinya...
KU
PINANG KAU
Ku
pinang kau
dengan
untaian puisi
yang
kan melekat
dalam
dinding hatimu
Ku
tunggu kau
di
pantai sepi kesendirian
di
bawah mendung bermuatan halilintar
di
tengah gemuruh ombak yang mencekam
:
bersama
pinanganku yang tak lebur oleh waktu...
Jesika membaca puisi itu bolak-balik, dan
meresapinya kata per kata. Hatinya makin berbunga-bunga...
“Ini sama aja Alyando nembak hati gue...,”
gumamnya senyum-senyum sendirian.
Bukunya lalu ditutup, didekapnya erat-erat
di dadanya, hingga ia terlelap dibuai mimpi...
****s@b211014
>>>> Jangan lupa, beli ya buku KETIKA CINTA BERPUISI...!