“Sudah
siap?!”
“Sudah!!”
Dua
motor dengan penumpang empat orang
segera
lepas-landas meninggalkan kebisingan kota yang gerah,
menuju
pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di ujung kota Karawang.
Di
wilayah ini ada dua pengeboran minyak bumi,
dan
di sisi-sisi pantainya berjejer tambak-tambak ikan.
Jadilah
wilayah pantai ini disebut sebagai
“Tambak
Sumur”.
Siang itu, kami –aku, Pak Is, Bang
Ama dan Oga—sudah tiba di wilayah tambak. Kami ke pelelangan ikan
sebentar untuk membeli umpan, yaitu berupa udang-udang kecil.
“Umpannya dua kilo
sekalian...” kelakarku.
“Kebanyakan atuh...” pangkas
Oga.
“Kan sisanya bisa dibawa
pulang, kalo mancingnya gak dapet...” sambung Pak Is.
“Heh, dapet atau gak dapet,
yang penting refreshing. Sudah yuk ah, baunya bikin puyeng...” tukas Bang Ama.
Diam-diam ada empat pasang
bola mata mengawasi kami dari warung tepi jalan. Itu tuh, kupu-kupu genit berambut pirang. Saat mau cabut, iseng-iseng ku beri
isyarat....
“Daah....”
Mereka membalasnya dengan
kecupan jarak jauh.
Kami berempat ketawa
meledak-ledak. Ada-ada saja. Astaghfirulloh...
Lanjut...
Perjalanan sekitar tiga
kilometer lagi menuju muara di tepi pantai. Meskipun susah-payah menyusuri liku-liku
pematang tambak, akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan itu, dengan nafas
ngos-ngosan.
Istirahat sebentar...
Lalu kami bersiap-siap
mengambil posisi di sekitar sungai. Oga nangkring di akar pohon bakau. Pak Is
di seberang jembatan. Aku dan Bang Ama di badan jembatan.
Bosan dengan ikan-ikan lundu
melulu, kemudian kami berburu ikan sumbilang di muara tepi laut. Oga, Pak Is
dan Bang Ama dapat beberapa ekor sumbilang, sedang aku satupun tak dapat.
Sore harinya, kami berkemas pulang. Tapi, ban depan
motor Bang Ama kempes. Untung di sekitar penduduk pantai ada tukang tambal ban.
Bang Ama dibantu Oga mendorong motornya ke sana.
Aku dan Pak Is menunggu di
jembatan sambil uncang-uncang kaki dan ngobrol sana-sini.
Matahari makin memerah hendak tenggelam menuju waktu
maghrib.
“Sholat dulu
yuk...” ajakku.
“Nanti ajalah digabung sama isya...”
jawab Pak Is.
Perlahan-lahan malam terus
menyempurnakan selimut gelapnya. Suara-suara serangga makin riuh terdengar.
Suasana alam benar-benar nyaman, sejuk dan damai. Inilah pengalaman pertamaku
di pantai.
Tiba-tiba tercium aroma parfum
dari arah pantai. Tak lama muncullah dua sosok perempuan di bawah keremangan cahaya bulan.
“Lagi mancing, bang?” sapa
salah seorang perempuan itu.
“Iya,” jawabku sekenanya.
Perempuan itu lalu jongkok di
samping sebelah kananku, tanpa permisi lagi. Temannya masih berdiri.
“Par, aku ke sana dulu ya?”
ujar perempuan yang satu lagi.
“Iya, gih,” jawab si Par.
Sementara itu aku tak melihat
lagi Pak Is. Entah kapan dia ngungsinya. Tahu-tahu suaranya sudah ada di
seberang jembatan.
“Hati-hati kecebur, kawan...” katanya sambil cekikikan.
Tinggallah aku berduaan dengan
perempuan asing itu di jembatan.
Mungkinkah dia hantu? Soalnya aku sama sekali
tidak tahu seluk-beluk suasana malam di pantai ini.
“Pancingnya mana, bang?” tanya
perempuan itu.
“Mancingnya udahan. Aku dan
bapak itu...” sambil aku menunjuk ke arah Pak Is di seberang jembatan, “lagi
nunggu teman-temanku nambal ban motor...”
“Ooo, gitu...” ujarnya
kelamas-kelemes.
“Kamu mau ke mana malem-malem
gini?” tanyaku ingin tahu.
“Biasa, bang,” jawabnya
enteng. “Tiap malem aku emang seperti ini...”
“Mm...” aku manggut-manggut.
“Jangan-jangan kamu ini... perempuan yang di warung tadi siang itu ya?”
“Heu-euh,” dia mengangguk,
lalu mengulurkan tangan kanannya. “Kenalan dong, bang. Namaku Parni.”
“Aku Alam,” jawabku sambil
melepaskan genggaman jemarinya yang terasa lengket di telapak tangan.
“Kayak penyanyi,” dia
tersenyum mendesis.
Sejenak hening. Tiupan angin
laut menggerai-geraikan ujung rambutnya yang sebahu. Bulan yang redup menjadi
saksi.
“Bang, kita ke sana yuk...”
ujar Parni sambil menunjuk ke rumah kecil di tepi sungai.
“Di sini juga enak,” tolakku
halus.
“Biasanya malem-malem gini gak
banyak basa-basi lo, bang.”
“Aku ke sini cuma mau mancing kok.”
“Sekalian, bang, biar tambah
enak.”
“Sebentar...” Aku menahan
tarikan tangan Parni dan melepaskannya. “Ada bayarannya gak?”
“Nggak mahal kok, bang,” jawab
Parni sambil membereskan rambutnya.
“Mm...” Aku berpikir keras.
“Udah lama jadi ginian?”
“Maksud abang?”
“Yaa... jadi kupu-kupu... di
malem gelap, gitu...”
“Kok nanyanya gitu sih, bang?”
“Jangan tersinggung dulu. Aku
cuma pengen tau permainan kamu aja...”
Dia diam sesaat. Lalu katanya,
“Sebenernya abang mau gak sih?”
“Mana ada laki-laki normal
yang gak mau...” jawabku jujur.
Kembali dia diam. Pandangannya
kosong ke arah sungai. Meskipun samar, dia cukup cantik. Aku heran, apakah dia
sudah tidak laku lagi, sehingga harus menjadi kupu-kupu malam begini? Ada apa
dengannya?
Tiba-tiba aku punya ide. Akan
aku coba, mumpung Oga dan Bang Ama belum selesai nambal ban motornya.
“Sekarang aku mau menawar
kamu, boleh?” tanyaku memancing.
“Iya, bang,” dia mengerjap
sumringah.
“Bagiku perempuan itu adalah
barang mahal. Aku akan menghargakan diri kamu dengan sesuatu yang sangat
berharga yang aku punya.”
“Apa itu, bang?” tanyanya
penasaran.
“Hati!” jelasku.
“Hati?” ulangnya.
“Ya. Selama ini mungkin
laki-laki hanya menghargakan kamu dengan beberapa lembar uang. Tapi aku menghargakan
diri kamu dengan hatiku.”
Dia menatapku. Tak ada kata
dari bibirnya. Mudah-mudahan hatinya terbuka...
Aku ingin menawarkan cerita lain
bagi kehidupan Parni. Sebab, hati siapapun tak akan membenarkan perempuan
berkeliaran di malam hari, apalagi sambil menjajakan kehormatan dirinya. Aku
bukan sok alim, sok suci dan sok tahu. Menurutku, tidak selamanya kupu-kupu
malam harus bertemu dengan kumbang jalang berhidung belang. Dan, malam ini
harus ada kunang-kunang yang berusaha menerangi jalan hidup Parni....
“Kamu cantik, Par,” sanjungku.
“Aku yakin, masih banyak laki-laki yang mau menjadikanmu isteri.”
“Udah terlambat, bang,”
ujarnya hampa. “Aku kecewa. Aku frustasi...”
“Kamu senang tiap malem
begini? Sementara yang kamu tawarkan adalah mahkota yang sebenarnya gak boleh
dijual.”
Tak ada jawaban. Wajahnya
menunduk. Dia bangkit dari duduknya. Kali ini dia jaga jarak denganku. Rupanya dia
masih punya rasa pengertian.
“Keputusan ada di tangan kamu,
Par,” ujarku lagi mencecar sisi-baik yang ada dalam hatinya. “Jika malem ini kamu
pulang, lalu berdoa dan tidur, niscaya Alloh akan memberi mimpi indah yang
nyata.”
“Apakah aku masih mampu?” Dia
meragukan dirinya. “Sementara aku harus menutupi kebutuhan hidupku dan
anakku.”
“Niat yang mantap akan
mengalahkan segalanya. Ingat, ada Alloh yang akan selalu membantumu.”
“Entahlah, bang, aku
bingung...”
“Berusahalah... Mudah-mudahan
kita ketemu lagi dalam suasana yang udah berbeda...”
“Iya, bang...”
Aku melihat ada air mata
mengalir di pipinya. Hatikupun trenyuh merasakan beban hidup yang dialaminya. Sebelum
berpisah, aku sempat mengepalkan beberapa uang lembaran di tangannya.
“Nggak usah, bang,” tolaknya.
“Terimalah...” aku sedikit
memaksanya. “Anggaplah ini pemberian dari saudaramu yang ikhlas, bukan dari
laki-laki yang ingin merendahkanmu...”
Lalu dia pergi. Semoga saja
dia pulang dan tidur.
Dan setelah Oga dan Bang Ama
selesai nambal ban motornya, kamipun segera pulang meninggalkan muara tambak
yang senyap dan dingin itu.
Selamat tinggal,
Par....!
>>> Baca lanjutannya : PARNI, PRIMADONA PANTAI UTARA <<<
>>> Baca lanjutannya : PARNI, PRIMADONA PANTAI UTARA <<<
( Memori mancing di
Pantai Utara, 2006 )
**********
No comments:
Post a Comment