Monday, December 14, 2015

BIARPUN MUSIM SILIH BERGANTI, NAMUN CINTAKU BAGAI BUNGA SURGA YG SELALU BERSERI SELAMANYA




Jam tiga malam lewat seperempat...
Kanda Akhi Baru saja tertidur setelah menyelesaikan sebelas rokaat tahajjudnya.
Sementara Dinda Ukhti masih menengadahkan tangannya memohon kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Setelah selesai berdoa, dia memperhatikan wajah suaminya yang tengah terlelap tidur menunggu waktu subuh tiba itu. Perasaannya hanyut dalam keharuan yang dahsyat.

Terbayang dalam benak Dinda Ukhti, betapa kerasnya perjuangan suaminya selama ini dalam menjaga, melindungi, membimbing dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Apalagi dalam kondisi bangkerut saat ini, sungguh terlihat betapa mati-matian suaminya berusaha mempertahankan kehidupan keluarganya.
Tak terasa, air mata Dinda Ukhti jatuh menimpa pipi suaminya, yang membuat suaminya sedikit kaget dan jaga...
Mama menangis?” tanya Kanda Akhi sambil bangun dari baringannya.
Dinda Ukhti tidak kuasa menjawab. Dia memeluk suaminya.
“Maafkan aku, ma...” lanjut Kanda Akhi merasakan himpitan ekonomi yang melanda keluarganya, “kalo akhir-akhir ini kondisi ekonomi keluarga kita banyak kekurangannya.”
“Itu gak jadi masalah, pa...” Dinda Ukhti meng-eratkan pelukannya. Air matanya tambah deras membasahi mukena putihnya.
Kanda Akhi mengusap-usap kepala isterinya yang sesenggukan itu. Hatinya terenyuh.
Aku khawatir papa sakit,” ujar Dinda Ukhti masih dengan air mata berlinangan.
“Semoga Alloh selalu memberi yang terbaik buat kita, apapun itu bentuknya,” balas Kanda Akhi pasrah. “Dan, semoga kesusahan kita saat ini sebagai ujian dari-Nya...”
“Iya, pa...” angguk Dinda Ukhti sudah mulai reda tangisnya.
“Kita harus sabar menghadapinya,” tandas Kanda Akhi. “Hidup ini selalu dipergilirkan. Enggak selamanya orang yang senang itu dalam kesenangan. Begitu juga, gak selamanya orang yang susah itu dalam kesusahan...”
Insya Alloh, pa, Alloh membantu menguatkan kesabaran kita.” Dinda Ukhti mulai tersenyum meskipun di wajahnya masih menggurat sisa-sisa bekas tangisnya itu.
“Dan akhirnya, orang-orang sabar itulah yang akan menang...!” Kanda Akhi menatap wajah isterinya lalu memeluknya.

Alloh meluaskan rezeki kepada orang yang dikehendaki-Nya dan menyempitkannya (kepada orang yang dikehendaki-Nya).
Mereka bergembira dengan kehidupan dunia,
padahal kesenangan dunia itu bila dibandingkan dengan kesenangan akhirat itu
hanyalah kesenangan (yang sedikit dan sementara).”
(QS. Ar-Ro’du: 26).

Adzan subuh sudah terdengar dari menara mesjid nurul Amal. Mereka kemudian sholat berjamaah bersama dengan anak-anak yang lainnya.

***

Pagi yang cerah...
Udara terasa segar...
Titik-titik embun berkilauan di dedaunan...

Sejak usaha perdagangannya bangkerut akibat diterpa badai krisis moneter, Kanda Akhi ikutan coba-coba berkebun, memanfaatkan waktu sambil menunggu-nunggu peluang lain yang lebih baik. Ia menanam jagung seperti peladang-peladang lainnya.

Siang harinya, Dinda Ukhti mengirim nasi dan lauk-pauknya ke kebun. Sambil duduk-duduk di gubuk bambu, Kanda Akhi menikmati makan siangnya dengan sedap.
“Eh, pa..., pohon-pohon jagung itu sering dipake perumpamaan lo...” Dinda Ukhti mengisi percakapan.
“Perumpamaan apa?” sahut Kanda Akhi santai.
“Ituuu... orang-orang yang kecewa gara-gara cinta...”
“Maksudnya?”
“Mereka sering bilang... ‘cintamu bagaikan seumur pohon jagung’...”
“Oo, ituuu... Kalo cinta mama, gimana?” goda Kanda Akhi.
“Mmm...” Dinda Ukhti malu-malu.
“Gimanaaa...?”
“Euuu... ‘bagaikan bunga surga yang selalu berseri selamanya, biarpun musim silih berganti’. Hihihih...”
“Wuih, cakep banget...!”
Kanda Akhi berusaha hendak mencubit hidung Dinda Ukhti, tapi isterinya itu segera menghindar dengan genit...
Mereka berdua tertawa renyah seiring hembusan angin semilir. Pohon-pohon jagung bergoyang-goyang bergeresauan seakan-akan ikut bahagia menyaksikan romantika mereka.
Saat waktu zhuhur tiba, mereka pulang ke rumah. Tinggallah kebun jagung nan hijau itu kembali sunyi dan bisu seiring perjalanan waktu dan musim yang berganti itu...

******

Wednesday, November 11, 2015

KABAYAN DAPAT HADIAH



KABAYAN
DAPAT  
HADIAH
             Baru saja beduk isya, Kabayan sudah siap-siap hendak tidur. Badannya terasa pegarl-pegal bekas kuli panggul tadi siang. Kalau begitu, memang paling enak segera ngukur tempat tidur, sambil mengkhayal jadi orang kaya sebelum lelap dibuai mimpi.
“Teung, lu mo tidur gak?” ajak Kabayan pada isterinya yang hitam pesek itu.
“Ya tidur lah,” sambut Iteung. “Abis mo ngapain. Mo nonton tivi, ya gak gablek...”

Kabayan dan Iteung masing merebahkan tubuhnya di atas ranjang besi yang sudah itu. Sebelum pulas, pikiran mereka melayang ke mana-mana. Tidak lama kemudian...

Lesss......
Dua orang suami-isteri itu sudah lupa di bumi alam.

Tengah malam yang sunyi, di dapur terdengar suara klotrak-klotrek. Brak! Entah apa yang jatuh. Iteung terjaga kaget.
Bang! Bang! Bangun...!” Iteung menggoyang-goyangkan badan suaminya.
Hmmm... Ada apa sih?” Kabayan menggeliat.
“Dengerin, sora apa tuh di dapur?”
“Paling juga tikus cari nasi.”
“Pan udah ludes kita makan.”
“Lalap jengkol kita kan masih ada sisanya. Biarin aja, itung-itung sedekah...”

Kabayan terus ngorok lagi. Sementara Iteung gak bisa tidur lagi. Suara di dapur itu mengganggu perasaannya.
“Bang, coba liat sono...” Iteung penasaran. “Jangan-jangan itu bukan tikus, tapi maling...”
“Maling?” Kabayan terkekeh-kekeh.
“Siapa tau?”
“Mo maling apa di sini? Mo bikin kumisnya cemong sama pantat dandang kita nyang jarang dicuci itu? Kita kan gak punya banda apa-apa. Banda kita nyang berharga tinggal awak doang nih...!”
“Coba ke sono, bang...!” Iteung lagi mendesak.
“Heh, mangkluk nyang di dapur...!” suara Kabayan dari tempat tidurnya. “Kalo elu emang maling, mo nyolong apa di rumah butut ini? Simpenan gue di sono noh... di jamban pinggir kali. Kalo elu mo nyolong, noih di kampung sebelah banyak domba-dombanya. Bagi aja gue satu biji mah, kalo dapet...”
Suara klotrak-klotrek di dapur itu kemudian lenyap. Kabayan aman tidur lagi tanpa ada gangguan.

Pagi harinya, saat Kabayan membuka pintu, dia melihat seekor domba tercancang di tiang rumahnya.


“Hah...! Siapa nyang nyancang domba di sini ya?” gumam Kabayan heran. “Aduh..., gue nginjek tainya dah....!”
Belum habis Kabayan berpikir, tiba-tiba datang aki Menyon mencak-mencak. Suasana pagi jadi kisruh.
“Busyrak! Elu tega amat, Kabayan...” ujar aki Menyon sambil menyon-menyon mulutnya yang tak bergigi itu. “Domba gue atu-atunya elu cepot, eh copet...!”
“Kebanyakan nonton wayang golek tuh, mo bilang copet jadi cepot...!” ledek Kabayan.
“Udah jangan bahas itu,” tukas aki Menyon. “Elu kira-kira atuh, Kabayan! Susah sih susah, atuh punya tetangga mah jangan diembat euy...!”
“Heh, aki...” balas Kabayan. “Biar susah begini, saya juga moal atuh nyepot..., eh saya jadi latah yeuh, moal atuh nyopet punya orang lain mah...!”
“Itu buktinya domba aki ada di rumah elu...” tuduh aki Menyon lagi.
“Saya juga gak tau siapa yang bawa ke sini...”
“Ah, pokoknya aki gak percaya kalo tuyul nyang nyancang domba itu di sini.”
“Terserah...” Kabayan tetap menolak.
“Ya udah...” aki Menyon juga tidak mau mengalah.
“Kita gebukin aja, ki, biar dia ngaku...” suara orang banyak yang menyaksikan pertengkaran di pagi hari itu.
“Heh...! Gue mo digebukin ama elu-elu ini ?” tantang Kabayan tidak takut. “Emangnya udah jelas gue nyang nyolong dombanya aki Menyon ini? Asal lu pada tau aja, banyak orang nyang jelas-jelas jadi maling, lah nggak digebukin. Gue nyang belom jelas, malah mo digebukin. Lagian dombanya juga masih ada, nih...!”

Untung Iteung segera memanggil pak RT, sehingga masalahnya bisa diselesaikan dengan damai. Kalau tidak, mungkin orang-orang kecil macam Kabayan itu selalu jadi korban tangan-tangan licik dari bangsanya sendiri!
“Sial, gue dapet getahnya...” umpat Kabayan lemas setelah masalahnya sudah beres.
“Makanya, bang, jangan ngomong sembarangan...” ujar Iteung mengingatkan.
“Abang kan cuma becanda, Teung,” kilah Kabayan. “Lagian, tuh maling peduli ama orang miskin ya. Baru abang nemuin maling kayak gitu...”
“Uda lah, bang...” tukas Iteung. “Mendingan sekarang dikompres tuh luka ama bengkaknya.”
“Siapa nyang luka ama bengkak, Teung?”
“Pan tadi abang digebukin ama orang-orang...”
“Itu kan kagak jadi, Iteung...!”
“Eh, iya... Aye lupaaa.....”
Iteung lalu merangkul Kabayan. Srosoood...! Gedebughhh........!!!

*********

Sunday, November 1, 2015

SEKUNTUM BUNGA DALAM PUISI






Setelah menulis puisi itu serapih-rapihnya di kertas kutih bergambar bunga, Akhi menlipatnya dan memasukkannya ke dalam amplop tanpa nama dan tujuan.
Malam harinya, Akhi mengikuti pengajian khusus remaja di Mesjid Nurul Amal rutin satu minggu sekali.
Setelah pengajian usai, Akhi mendekati Wangsih...
“Tolong titip ini ya buat Seffy.” Akhi menyodorkan amplop yang berisi puisi itu.
“Ada kuliannya gak nih...?” canda Wangsih.
“Ada, beres lah...” balas Akhi, entah apa kuliannya itu.
“Bohong, aku cuma becanda,” tukas Wangsih. “Ya udah, aku bawa ya.”
“Makasih, Wang...” balas Akhi.

***

Dua hari sudah berlalu...
Petang itu, Akhi sedang duduk-duduk santai sambil membaca buku di beranda rumah. Lalu ada yang menyapanya...
Salam ‘alaikum...” ucap suara perempuan.
Wa ‘alaikum salaaam...” jawab Akhi. “Eh, Wangsih...”
“Nih, titipan dari Seffy.” Wangsih langsung memberikan sebuah amplop tertutup rapat. “Aku gak lama ya, ada keperluan lagi...”
“Oh iya. Makasih untuk kedua kalinya, Wang.” Akhi menerima amplop itu bagai dalam mimpi.
Derrr...!
Hati Akhi bergejolak. Dia tidak hanya merasa bahagia. Tapi juga, dia harus siap menerima apa yang tidak sesuai dengan harapannya itu.
Perlahan-lahan Akhi membuka amplop dari Seffy itu. Dia keluarkan kertas putih yang dilipat rapih itu. Dan tersibaklah apa yang tertulis di situ...

                                              
Ternyata, ahayy...
Kalimat-kalimatnya tak begitu panjang, namun tusukannya begitu menghunjam dalam dada Akhi. Dia tersenyum puas sendirian.
Itu berarti, Seffy menerima uluran tangan Akhi yang bermuatan cinta itu.
Hari-hari selanjutnya, Akhi dan Seffy kerap saling berpandangan saat jumpa di pengajian rutin mingguan itu.

***

Setahun berlalu...
Akhi dan Seffy tak lagi saling bertemu. Terbetik cerita, bahwa mereka telah menempuh jalan hidup masing-masing.
Namun, “Sekuntum Bunga Dalam Puisi” itu masih mekar dan tertera dalam buku “Catatan Monumental” yang tak akan terlupakan, hingga hari ini......

( In Memoriam Rengasdengklok, March 1987 )

               
******

KETIKA CINTA BERCADAR: FOTO SLIDE SHOW

FOTO SLIDE BUKU "KETIKA CINTA BERCADAR" Ini adalah beberapa ulasan secara slide tentang buku KETIKA CINTA BERCADAR.