Thursday, October 29, 2015

PUISI CINTA DI ATAS AWAN



PROMO BUKU DULU...



"KETIKA CINTA BERCADAR"
Rp. 46.000,- belum ongkir
Halaman: 224 hitam/putih
Kategori: Novel Islami
Info marketing: 08977745997 (wa, line), 085881692854
Atau klik: www.rasibook.com




Petang hari yang cerah...
Awan-awan putih berarak  di kebiruan langit, bagai gulungan ombak yang berkejaran di lautan lepas tanpa batas.
Angin semilir berhembus menyejukkan suasana yang masih terasa panas di bumi, seiring kebisingan yang tak pernah henti.

Rowan duduk sendirian di pinggir kebun yang bersebelahan dengan area persawahan yang luas terhampar. Sesekali pandangannya jatuh pada petak-petak sawah yang sebentar lagi akan panen padi, dan sesekali tengadah ke awan-awan yang bergumpal di angkasa biru. Ada semacam pesimisme menyelinap dalam sanubarinya yang terdalam, yakni soal feeling-nya pada Riyani.

“Hei...!” tiba-tiba seseorang mengagetkan Rowan dari belakang. Dari suaranya dia tahu siapa yang datang itu. 
“Datang ngegetin orang,” sungut Rowan pada Riki. “Ucapkan salam, dong!”
“Iya, sorry. Aku ulangi nih, assalamu ‘alaikum...” ujar Riki sedikit mangkel.
Wa ‘alaikum salam wa rohmatullohi wa barokatuh,” jawab Rowan sempurna.
“Lengkep banget jawabannya,” komen Riki sambil meletakkan pantatnya di sebelah kanan Rowan.
“Kamu ke sini mau ngebahas soal salam?” tanya Rowan merasa terusik.
“Ya bukan lah...” jawab Riki agak sewot. “Mau nemenin kamu supaya gak jadi patung sendirian...”
Sesaat kemudian mereka berdua asyik menikmati kebisuan suasana bersama angin yang masih berhembus dengan sejuk itu.
Tak berapa lama selanjutnya...
“Kayaknya ada yang dipikirin ya?” tanya Riki menebak-nebak.
“Tuh...” Rowan menunjuk ke arah awan-awan yang bergelantungan di langit.
“Ooo...” Riki manggut-manggut diiringi senyum. “Yaa... Aku jadi ingat dengan puisi kamu itu tempo hari. Yang... kalau tidak salah judulnya... PUISI CINTA DI ATAS AWAN.”
                           
“Iya, kan?” tandas Riki mengingatkan Rowan pada puisinya itu.
“Yeah...” angguk Rowan.
“Wan, puisi boleh digantung di atas awan, tapi cinta harus ril di bumi ini...”
“Udah pinter ya, otak kamu sekarang...”
“Heh! Emangnya kemaren-kenaren aku bodoh apa?”
“Ya, kan, ngomong pinternya baru sekarang...”
“Aaah, kamu ini... Belom ngerasain kecebur di sawah ya...?”
“Udah ah ngelanturnya,” tukas Rowan. “Nah, sekarang apa ide kamu?”
“Kalo emang kamu naksir Riyani, tembak aja dia langsung, pake puisi kek, pake bunga kek, pake telpon kek, pake sms kek, asal jangan pake pistol senjata api aja. Enggak usah lama-lama lagi. Anak zaman sekarang kok penakut sih. Lagian, apa-apaan cinta mau digantung di atas awan...” jelas Riki gregetan.
“Kamu kan tau, Riyani itu anak konglomerat. Gak level lah sama aku.”
“Lantas, kenapa kamu jatuh cinta sama dia?”
“Yaa... nggak tau lah, itu urusan hati...”
“Nah, tuh kamu tau, bahwa cinta itu urusan hati. Bukan urusan harta, iya kan?”
“Iya sih...”
“Ketauan sekarang, yang bodoh itu kamu, bukan aku...”
“Oke-oke... Akan aku coba idemu itu.”
“Nah, itu baru cakep. Biarin... awan aja yang bergantungan di sana... kayak monyet di pohon-pohon...”
Rowan dan Riki meninggalkan pinggiran kebun itu saat matahari petang makin condong menuju senja temaram. Mereka akan bertemu lagi besok di sekolah.

***
Sudah empat hari ini, Riyani tidak nampak di sekolah. Rowan merasa kehilangan. Entah kenapa tiba-tiba dia kehilangan gairah. Seperti ada yang hilang sebelah hatinya.
Kemudian Riki datang membawa berita-duka, membuat hati Rowan makin pecah berkeping-keping...
“Menurut keterangan yang aku dapet, katanya Riyani itu udah lama mengidap kanker hati,” jelas Riki dengan mimik sedih. “Dan beberapa hari kemaren dia mengalami koma, hingga akhirnya hari ini dia meninggal...”
Rasanya Rowan ingin berteriak-teriak menangis sejadi-jadinya. Dia ingin protes pada Tuhan. Kenapa orang yang sedang ditaksirnya dipanggil pulang ke akhirat yang tak akan pernah kembali lagi ke dunia ini. Betapa penyesalan dalam hatinya sangat berat.
“Kamu denger gak, di mana Riyani dimakamkan?” tanya Rowan dengan air mata berlinangan.
“Di pemakaman umum. Kalo kamu ke sana, saat kamu lihat kuburan baru yang masih basah tanahnya di barisan sebelah kiri dari pintu masuk, itulah makamnya.”
Rowan segera meluncur ke pemakaman umum itu. Dia ingin menumpahkan seluruh isi hatinya yang selama ini dipendamnya terhadap Riyani. Tak mengapa Riyani tak bisa lagi mendengar dan menjawabnya. Setidaknya akan berkurang beban di hatinya...
Sampai di pemakaman, Rowan langsung menuju kuburan baru yang masih basah tanahnya itu. Dia menjatuhkan dua lututnya pada tanah kuburan itu. Sambil menahan rasa sedih diiringi tetesan air mata, bibirnya dengan bergetar menumpahkan kata-kata yang lirih...

Riyani... Meskipun kau sudah tak ada lagi di hadapanku, rasanya ingin ku beri tahu padamu, bahwa selama ini aku menyukaimu. Dan baru saja aku akan menyatakan rasa suka itu padamu, kau malah sudah pergi jauh meninggalkan dunia ini...”
Rowan mengusap air matanya. Dan lanjutnya...
“Dan sekarang... aku benar-benar harus menggantung cinta ini pada awan-awan yang melayang itu. Aku benar-benar sudah tak dapat mengejarmu lagi, dan tak kan pernah bisa menggapaimu lagi...”
Rowan...”
Rowan seperti mendengar ada orang memanggilnya. Tapi dia tak peduli, mungkin itu hanya halusinasinya saja.
Rowan...”
Sepertinya Rowan mendengar lagi panggilan itu. Tapi dia masih tak peduli.
Rowan...”
Untuk ketiga kalinya Rowan jadi penasaran dengan suara panggilan itu. Dan seandainya ada hantu di siang hari, dia tidak akan lari.
Saat Rowan membalikkan badannya ke belakang, betapa terkejutnya dia menatap orang yang berdiri di hadapannya itu. Dia berusaha menguatkan kakinya agar tetap bisa bertahan berdiri, meskipun bayangan-bayangan tentang hantu di pikirannya terus menteror jiwanya...
“Apakah kamu hantu?” tanya Rowan dengan nafas menyesak di dada.
Bukan,” jawab orang itu sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Bukankah kamu sudah mati?” tanya Rowan lagi.
Belum,” jawab orang itu.
Rowan belum bisa percaya dengan apa yang dilihatnya itu...
Hei, Rowan...!” teriak suara dari balik pagar kawat pemakaman, yang ternyata adalah Riki dari atas motor trail antiknya itu. “Masihkah mau kamu gantung terus cintamu itu pada awan-awan di langit sana itu? Bersiap-siaplah...! Sebentar lagi awan-awan itu akan menjatuhkan hujan ke bumi. Menangislah buat kebahagiaanmu hari ini...!”
“Jadi semua ini adalah rekayasa kamu, genduuut...!” balas Rowan berteriak.
Rowan lalu mengambil tanah kuburan yang masih basah itu, dan menimpuki Riki bertubi-tubi.
“Tunggu-tunggu dulu, Wan!”
“Gak perlu lagi ada penjelasan!”
Rowan terus menimpuki Riki bertubi-tubi, hingga akhirnya Riki ngacir dengan trail antiknya itu.
Janganlah begitu sama Riki,” ujar orang perempuan itu yang ternyata adalah Riyani.
“Maksudku, supaya dia segera pergi, gitu. Kan tinggal kita berdua di sini...” jawab Rowan yang sudah percaya kalau orang perempuan di depannya ini adalah benar Riyani. Terasa syahdu dalam hatinya memandang Riyani saat ini.
Ketika hujan mulai gerimis, Rowan dan Riyani meninggalkan pemakaman umum itu. Tak lama hujan turun dengan deras.
Sementara Rowan dan Riyani sudah berada di rumah masing-masing. Kayaknya, mereka sama-sama lagi tersenyum membayangkan apa yang baru saja dialaminya......

********


KU PINANG KAU DENGAN PUISI



KU PINANG KAU
DENGAN PUISI



Teng...!!!
Bel masuk berbunyi.
Hari ini kelas 3B adalah pelajaran Bahasa Indonesia pada jam pertama. Bu Naysya sebagai guru Bahasa Indonesia sudah siap memberikan materinya.
“Anak-anak,” ujar Bu Naysya. “Hari ini ibu beri tugas kalian untuk membuat puisi.”
“Temanya apa, bu?” tanya murid-murid.
“Bebas,” jelas Bu Naysya. “Ibu ingin tahu mood apa yang ada dalam otak dan perasaanmu saat ini.”
“Baik, bu,” angguk murid-murid.
Suasana kelas jadi hening. Pikiran murid-murid sibuk mencari kata-kata yang bagus untuk dirangkai jadi sebuah puisi.
Suasana hening hingga bel istirahat berbunyi. Murid-murid segera menyerahkan puisinya ke meja Bu Naysya. Bu Naysya membawanya pulang untuk diperiksa di rumah.

***

Esok harinya, di halaman sekolah...
“Hai, Galang...” seru Omah, anaknya Bu Naysya.
“Eeh, Omah...” Galang menghentikan langkahnya. “Ada apa?”
“Mmm...” Omah senyum-senyum. “Pinang aku juga, dong...”

“Pinang?” Galang bengong. “Pinang temennya makan sirih itu?”
Bukan ituuu...” Omah klamas-klemes.
“Ooo... Pinang dibelah dua maksudnya?”
“Ih, bukan itu jugaaa...”
“Lalu...?”
“Pinang yang ada dalam puisimu ituuu...”
“Ooo, ituuu... Ya nanti aku cariin dulu daon sirihnya.” Galang merasa geli dalam hatinya.
“Buat apa?” tanya Omah kesal.
“Katanya kamu mau makan sirih.”
Emang gue nenek-nenek apa? Uh...!”
Omah lalu pergi dengan kesal.
Galang memandangi kepergian Omah sambil senyum-senyum. “Yang ku pinang gadis Bandung, yang datang malah gajah Lampung. Ya Alloh, astaghfirulloh...,” gumamnya sendirian.

***

Tak terasa sudah bertemu lagi dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Murid-murid sudah menunggu apa yang akan diberikan oleh Bu Naysya.
“Sekarang ibu ingin tahu ekspresi kamu dalam membawakan puisi,” ujar BU Naysya. “Coba silahkan satu per satu maju ke depan kelas. Beri acungan jempol buat puisi yang menurut kalian bagus.”
Satu per satu anak-anak kelas 3B tampil ke depan kelas mengekspresikan puisi yang telah dibuatnya sendiri.
Tibalah giliran Galang untuk membacakan puisinya ini...


KU PINANG KAU

Ku pinang kau
dengan untaian puisi
yang kan melekat
dalam dinding hatimu

Ku tunggu kau
di pantai sepi kesendirian
di bawah mendung bermuatan halilintar
di tengah gemuruh ombak yang mencekam
bersama pinanganku yang tak lebur oleh waktu...


Hampir semua anak-anak memberikan acungan jempol pada Galang. Sementara Galang hanya tersenyum saja.
“Galang, tunggu sebentar,” tahan Bu Naysya.
“Ya, bu.” Galang tak jadi pergi duduk ke bangkunya.
“Di antara puisi-puisi teman-temanmu yang ada, yang lebih memiliki karakter penjiwaan hanyalah puisi kamu ini.”
“Huuuhhh...!” seru anak-anak.
“Apakah di antara gadis-gadis cantik di kelas ini ada yang ingin kamu pinang?” tanya Bu Nay sambil tertawa kecil.
Galang tersenyum malu. Tak ada jawaban dari bibirnya. Sementara matanya melirik ke arah Ayna yang duduk di bangku depan sebelah kirinya. Ayna kemudian menundukkan wajahnya.

***

Saat pulang...
Galang dan Ayna jalan beriringan. Mereka saling berdekatan, nampak biasa-biasa saja.
“Belajar Bahasa Indonesia kayak bukan pelajaran ya...” Galang memulai pembicaraan.
“Begitulah mungkin...” balas Ayna. “Tapi puisi kamu tadi bagus juga tuh.”
“Segala sesuatu kalo dibuat dengan hati, hasilnya akan berbeda...” ujar Galang diplomatis.
Ayna manggut-manggut. “Eh, kalo boleh tau, ada seseorang yang dituju dari puisi itu?” tanyanya.
“Mmm...” beberapa detik Galang mengulur waktu, dan selanjutnya ucapnya, “Gimana kalo ke... kamu aja...?”
“Apa?” Ayna menghadang jalan Galang.
Galang menghentikan langkahnya.
Mereka saling berhadapan dan berpandangan.
“Kamu becanda ya?” tanya Ayna tak yakin.
Serius kok,” balas Galang pasti.
“Tapi kan, kita masih sekolah, masa sih pinang-pinangan?”
“Anggap aja itu sebuah ikatan janji...”
Suara klakson motor dan mobil yang berhenti, bersahutan silih berganti. Galang dan Ayna tidak menyadari kalau posisi mereka berdua makin merayap ke tengah jalan raya. Seorang polisi datang menghampiri mereka berdua...
“Ade-ade...” tegur pak polisi sambil geleng-geleng kepala menyaksikan ulah anak muda zaman sekarang. “Kalau mau akting, jangan di jalanan. Lihat, mengganggu arus lalu lintas...”
“Oh iya, pak, kami mohon maaf...” ujar Galang dan Ayna menyadari kelalaiannya.

Di persimpangan jalan, Galang dan Ayna berpisah menuju rumah masing-masing. Dalam benak dan perasaan mereka, sama-sama tumbuh sesuatu yang terasa indah untuk dikenang.

******



KETIKA CINTA BERCADAR: FOTO SLIDE SHOW

FOTO SLIDE BUKU "KETIKA CINTA BERCADAR" Ini adalah beberapa ulasan secara slide tentang buku KETIKA CINTA BERCADAR.