Tuesday, February 23, 2016

ANDAI TAKDIR YANG BICARA




Pukul 09.30 malam...

Aku baru saja menyelesaikan pelajaran umum dan pondok. Belum mau tidur dulu. Masih ingin ngobrol dengan temanku yang imut-imut ini. Melanjutkan obrolan tadi siang...

“Di mana kamu kenal dia, Ry?” tanya Ety.
“Waktu dia mendaftarkan Rara,” jawabku.
“O gitu. Apanya yang menarik dari dia?”
“Setelah beres ngurusin administrasi, aku sempat sedikit ngobrol sama dia. Ternyata dia orang yang suka ngirim puisi-puisi ke majalah.”
“Lalu...?”
“Aku jadi tertarik. Kamu kan tau, aku suka corat-coret bikin puisi. Nah, aku coba tuh perlihatkan ke dia.”
“Apa katanya?”
“Lumayan...”
“Hehehe...”
“Aku seneng komentarnya. Terus aku minta contoh puisi dari dia. Waktu dia menjenguk Rara seminggu kemudian, dia kasih aku satu puisi. Nih puisinya...”
“Coba aku baca...”


Kalau boleh ku berkata jujur
Ku telah jatuh hati padamu
Kalau harus diam tanpa kata
Kan ku simpan gelora ini dalam rasa

Bagai bara dalam sekam
tak kan mati diterpa angin
Walau badai datang menghadang
serpihannya masih tinggalkan panas di bumi


“Wih... sentimentil banget, Ry. Mungkin dia jatuh cinta sama kamu, Ry.”
“Katanya, puisi itu contoh dan bisa buat siapa aja...”
“Siapa tau, Ry.”
“Dia itu D2, Et.”
“Ya baguslah, sebentar lagi S1.”
“Wey, bukan itu yang kumaksud.”
So what?
“Ini... de-udu, da-ada, jadi...”
“Du... da...”
“Nah, itu!”
“Ada apa dengan isterinya.”
“Katanya meninggal akibat penyakit.”
“Bagus tuh, Ry.”
“Bagus apanya, Et?”
“Ada kesempatan buat kamu jadi isterinya. Hihihih...”
“Husy! Ada-ada aja kamu ini. Aku cuma simpati aja sama dia. Dia berwawasan dan enak ngobrolnya, gituuu...! ”
“Ya kale aja, Ry.”
“Tega kamu ngejodohin aku sama duda. Emang gak ada yang lain apa...?”
“Cinta itu kan buta, Ry. Love is blind. Malah banyak anak-anak ABG yang menikah sama bapak-bapak yang sudah tua. Jadi gak aneh kalo kamu menikah sama duda. Hahahah...!”
“Jangan samakan aku dengan mereka dong, Et.”
“Becanda kalee... ”
“Udah ah, aku ngantuk.”
“Sebentar, Ry. Kapan dia ke sini lagi?”
“Biasanya hari Minggu menjenguk Rara. Nanti aku kenalin kamu.”

           Aku sudah mulai menguap-menguap. Ety juga sama. Tak lama kemudian kami sudah terbang ke alam mimpi.

*****

Hari minggu setelah zuhur...

Aku dan Ety sudah standby di depan gerbang pondok bersama anak-anak lainnya yang menunggu kedatangan orang tua mereka menjenguknya, terutama siswa-siswa baru. Dan kemudian...

Assalamu ‘alaikum...” sapa seorang bapak muda.
Wa ‘alaikum salam...” jawabku dan Ety berbarengan.
“Jenguk Rara, pak?” tanyaku.
“Iya,” si bapak muda itu mengangguk.
“Perlu dipanggil Raranya, pak?"
“Boleh...”

Dengan pengeras suara kemudian Rara dipanggil, bahwa orang tuanya sedang menunggu di beranda depan pondok.

Setelah Rara datang, aku dan Ety pamitan untuk keperluan lain di dalam pondok.

Handsome juga ya, Ry?” komentar Ety sambil jalan.
“Begitulah. Naksir?” ledekku.
“Aku jadi mikir, andai jadi isterinya, cocok gak ya?”
“Nyindir nih?”
“Kalo ngerasa, kanapa nanya?”
“Aku gak ngerasa kok.”
“Boong juga gak apa, Ry. Lagi-lagi becanda doang...”

Ety lalu menghentikan langkahnya, aku juga jadi berhenti.

“Eh, Ry, si bapak itu kayak orang belum punya anak ya.”
“Semula aku juga nyangka begono...”
“Kayak masih singel ya.”
“Ya emang singel kan? Cuma anaknya lebih dari satu.”
“Berapa, Ry?”
“Udah lah, gak perlu tau. Mendingan kita ngebahas kelas kita minggu depan study tour. Kamu mau ikut atau pulang ke rumah aja?”
“Ikut aja deh... Siapa tau ketemu lagi D2. Hahahah...!”

Tak terasa waktu sholat ashar sudah tiba. Para orang tua yang menjenguk anak-anaknya sudah pada pulang, termasuk bapaknya Rara.

*****

Minggu pagi di pantai Samudera Biru...

Ini adalah kawasan pantai “Pelabuhan Ratu”-nya orang-orang di pantai utara. Tapi bedanya, di sini segalanya serba murah: ongkosnya murah, tiketnya murah, jajanannya murah, parkirnya murah, senyum orang-orangnya juga murah. Dan pemandangan lautnya tak dengan yang lainnya. Alami, sejuk dan bebas polusi...

Sudah tiga tahun kurang-lebih aku baru ke pantai ini lagi. Banyak perubahannya: lebih bersih dan lebih rapih.

Tiba-tiba...

Assalamu ‘alaikum...” suara dari belakang.
Wa ‘alaikum salam...” Dan ketika aku menoleh, “Eh, bapaknya Rara...”
“Lagi jalan-jalan ya?” tanyanya.
“Iya, sama anak-anak satu kelas. Study tour. Bapak juga sama?”
“O, saya pengelola kawasan ini.”
“Oo...” aku melongo sambil manggut-manggut.
“Jadi tau nih...” timpal Ety.
“Silahkan... dilanjut acaranya. Saya pamit dulu ya...”

Aku dan Ety memandangi kepergian si bapak muda itu. Alangkah beruntungnya Rara memiliki orang tua seperti dia. Semoga Rara tidak bersedih karena tiada seorang ibu di sampingnya...

Esok harinya...

“Hey, Ry, sepulangnya dari pantai, kok kamu jadi silent?” tanya Ety.
Silent is gold, Et,” jawabku cuek.
“Ada problem lain kayaknya ya?”
“Aku lagi nyepi, sambil corat-coret cari ide...”
“Gak usah ngelak, Ry. Coba aku liat coretannya apa...?”


Andai takdir Alloh
yang bicara

Aku akan pasrah
di bawah kehendak-Nya

Karena kebaikan
semata bersumber dari-Nya
...


“Ini gambaran hati kamu, Ry, tentang si bapak handsome itu?”
“Yang baca kan kamu, Et, berarti kamulah yang seperti itu...”
“Ah, kamu pinter ngelak... Ya sih memang, kalo takdir Alloh yang bicara, semua kita gak bisa menolaknya...”
“Hahahah...”

Aku berdua tertawa-tawa. Rasanya lucu berandai-andai jadi isteri seorang D2. Tapi semoga saja Alloh menghadirkan jodoh yang lebih baik lagi. Aamiin......

**********





  


JANJI CINTA



  JANJI
  CINTA

Bidadari Surga-nya
milik Ustadz Jefri Al-Bukhori
berbunyi di hape-ku.
Kulihat siapa yang calling.
Nomer baru. Siapa ya?
Ragu-ragu aku oke...

Salam ‘alaikum...” suara perempuan.
Wa ‘alaikum salam...” jawabku.
“Ini kak Ram, kan?”
“Euu... Ini siapa dulu?”
“Bilang dong, ini kak Ram, kan?”
“Iya-iya...”
Alhamdulillah... Kok lama banget sih ngangkatnya? Lupa yaaa...?”
“Iya... Tapi, maaf, ini siapa?”
“Kita pernah ketemu satu kali, tapi aku masih ingat suara kakak...”
“Aduh... Aku gak ingat lagi...”
“Betul?”
“Iya, betul.”
“Oke... Aku adalah Aminah Natalia dari Manadooo...”
“Mm... Seingatku... gak punya tuh kenalan dari sana, Manado.”
“Mungkin betul. Tapi, kalo Gethli Natalia...?”
“Kamu Gethli Natalia?”
“Iya. Itu nama lamaku.”
“Kok ganti nama sih?”
“Ceritanya nanti aja deh, kak. Sekarang aku ada di Bandara Soekarno-Hatta. Jemput aku ya...”
“Oke-oke...”

Setibanya di bandara, aku sempat kesulitan mencari gadis kelahiran Tinoor itu. Sebangku duduk dan barisan orang-orang yang berdiri kuperhatikan dengan jeli. Dan tiba-tida dari arah lain...
“Kak Ram!”
Uph! Aku membalikan badan. Aku tertegun memperhatikannya. Kerudung krim berpadu dengan busana takwa yang cerah, mungkinkah itu dia...?
“Ini aku...!” seru Gethli sambil melambaikan tangannya dan berlari kecil ke arahku.
“Gethli...” Aku serasa mimpi dan terpaku memandanginya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Pangling aja...” jawabku. “Aku pikir, kita gak ketemu lagi...”
“Lima tahun yang lalu, kak Ram pernah bilang begitu. Padahal kalo Alloh menghendaki, segalanya bisa terjadi. Iya, kan?”
“Betul itu, dan buktinya sekarang ya...”

Aku dan Gethli menuju kantin. Sambil menikmati makanan dan minuman ringan, aku tuangkan rasa penasaranku...
“Ngomong-ngomong, ada apa dengan namamu ganti, ditambah lagi bicara kamu ada unsur-unsur Islamnya ya?” tanyaku santai.
“Lho, masa kakak gak merasa sih, kalo aku sekarang udah menjadi muslim?” jawabnya sambil memandang wajahku.
“Ya kan kamunya belum ngasih tahu. Rasanya kurang etis kalo aku nanya tentang agama kamu. Nanti aku malah dianggap mau ngajak kamu pindah agama. Sedangkan dalam ayat Al-Quran nggak boleh memaksa orang untuk masuk agama Islam.”
“Kalo sekarang aku ganti nama dan bicara pake unsur-unsur Islam, ya itu karena aku sekarang udah masuk Islam...”
“Lantas, dari mana kamu mengawalinya hingga kamu masuk Islam? Bisa cerita sedikit, kan...?”
“Awalnya sih, aku sering membaca Al-Kitab dan menyimak ceramah-ceramah pendeta di gereja. Lalu aku sering membanding-bandingkannya dengan isi Al-Quran terjemahan yang aku pinjam dari seorang teman muslim. Pertama aku memegang Al-Quran, tanganku gemetar. Aku pernah dengar ceramah seorang ustadz, bahwa Al-Quran itu adalah sebuah Kitab yang ajaib...”
“Memang benar itu. Baca dalam surat Al-Jin ayat 1. Ya, terusin ceritanya...”
“Jadi panjang nih...”
“Ya gak apa-apa...”
“Nah, ingat dengan kata ‘ajaib’ itu, aku jadi penasaran. Satu per satu aku luangkan waktu untuk membaca ayat-ayat Al-Quran dari Al-Quran terjemahan itu. Semakin lama aku seperti mendapatkan pencerahan dalam pikiran dan hatiku, yang selama ini belum pernah aku dapatkan dari Al-Kitab ataupun dari ceramah-ceramah pendeta di gereja. Setelah menemukan bahwa Islam agama yang terbaik di sisi Alloh, lalu aku bulatkan hati untuk masuk Islam aja...”
“Mm... Selain itu, ada gak orang lain yang memotivasi kamu untuk masuk Islam.”
“Gak ada. Ini kemauan aku sendiri...”
“Luar biasa! Kamu emang cerdas. Dari surat yang kamu kirim dulu itu aja, aku udah merasa Gethli ini orangnya kritis.”
“Kakak bisa aja. Emang masih ada suratnya, kak?”
“Ada lah. Nih aku simpan dalam foto hape...”


Gethli senyum-senyum memandang tulisan tangannya yang dikirimkan padaku tahun 1993. Kemudian dia mengcopynya ke memori hapenya.
“Eh, tujuan kamu selanjutnya ini mau ke mana?” tanyaku mengingatkan.
“Ke Bogor,” jawabnya. “Ke rumah paman. Dia udah lebih dulu masuk Islamnya. Sekarang dia punya pondok pengajian. Sambil belajar mengaji, aku juga mau cari kerjaan juga. Dan... satu lagi, ada yang gak kalah pentingnya juga, aku mau menagih hutang ke kak Ram...”
“Hutang?” aku merasa aneh. “Emangnya aku punya hutang sama kamu?”
“Yah.”
“Hutang yang mana?”
Hutang... janji...”
“Hutang janji? Janji apa ya...?”
“Lima tahun lalu, sewaktu kakak nyimpang ke Manado setelah dari Ambon, kakak pernah bilang...”
“Ya ya ya... aku ingat! Bahwa aku akan menikahi kamu, kalo kamu masuk Islam. Tapi kan, waktu itu kamu bilang aku cuma becanda...”
“Aku kan waktu itu masih Katholik, kak. Nggak mungkin lah aku setuju. Kakak bilang orang Islam itu haram menikah dengan non-muslim...”
“Kamu serius?” aku menatapnya.
“Yah,” dia mengangguk.
“Kapan aku harus bayar hutang janji itu?”
“Sekarang.”
“Gak ada tempo lagi?”
“Gak ada.”
“Baiklah...”

Taksi president biru langit segera meluncur menuju Bogor, ke rumah pamannya Aminah Natalia, untuk meminta bantuan prosesi pernikahan, demi merealisasikan janji: Janji cinta...!

**********




Monday, February 15, 2016

CINTAKU, MAM...!



CINTAKU, MAM...!


Sebel, sebelll... deh!
Benci, benciii... deh!

Biarpun dia tersenyum, Mam, tetap aja aku gak suka ngeliatnya. Habis, dia dateng melulu sih ke rumah. Saudara bukan, famili bukan, kerabat bukan. Kenal juga baru. Kenapa sih dia segala indekos di rumah sebelah? Apa gak ada tempat lain?
“Mau apa sih dia, Mam?” protesku nggak pernah kering.
“Ya namanya orang, ada aja omongan mah, Neng,” sahutmu nggak pernah ngebela. Mama sepertinya sama dengan Papa ya, kalo dia dateng no problem aja. Ih!
“Paling juga ngobrol sana-sini gak puguh juntrungannya!” umpatku jengkel.
“Hus! Kita mesti jadi tuan rumah yang baik, Neng, selama dia berlaku baik sebagai seorang tamu. Masak iya harus diusir? Biar aja, kita dapet pahala kok dalam penilaian Alloh,” sergahmu bila aku menumpahkan antipatiku.
“Siapa tau nanti malah jadi jodohmu, Neng,” godamu sambil mesem.
“Ih! Jadi jodohku? Amit-amit, Mam...!” cibirku sambil merutuk dalam hati. Bah, impossebel itu...!
Dan yang paaaling... bikin aku gedeg banget, Mam, tuh si cowok kalo ditawarin makan mau aja. Apa gak malu, Mam? Katanya di kampungnya orang kaya. Masak orang kaya mau makan di rumah kita yang jarang ketemu daging dan keju ini. Makannya sih emang gak seberapa, tapi aku benci aja ngeliatnya...

Pernah dia dateng. Waktu itu Mama dan Papa lagi gak ada di rumah. Sampe tiga kali salam, baru aku sambut.
“Orangnya gak ada!” kataku dari balik pintu.
“Lho, yang ini bukan orang?” tunjuknya ke arahku sambil ketawa.
Pengen aku nonjok badannya yang krempeng itu. Apa dia gak ngerti, maksudnya Mama dan Papa gak ada di rumah.
“Bukan!” bentakku. Daun pintu aku tutup lagi.
“Ya, aku pulang lagi, Neng.”
“Jor!”
Kuintip dari balik gorden, dia pergi dengan tenang. Sepertinya dia cuek aja dengan emosiku yang kayak gledek itu.

*****

Tapi, Mam...
Itu kelakuanku dulu. Masih anak-anak. Kelas enam Sekolah Dasar...
Adapun sekarang, aku udah Sekolah Menengah Atas, beda dong, Mam...
Kalo aku rada-rada naksir dikit, wajar kan, Mam? Nggak aneh kan, Mam? Aku bukan anak-anak lagi kan, Mam? Aku udah gede kan, Mam? Nggak salah kan, Mam? Hehehe.....!

Katanya, seusiaku ini lagi masa-masanya pubber ya, Mam? Lalu, sebaiknya aku gimana, Mam? Aku harus banyak belajar darimu, Mam. Bimbinglah aku selalu, Mam. Jangan sampe aku salah jalan.
Kata temen-temenku di sekolah, kalau gejolak cinta sedang datang, ikuti aja apa maunya. Menurut mereka, kalau gak diikuti akan menimbulkan rasa ketidak-puasan yang berkepanjangan di dalam jiwa, dan akhirnya bisa menimbulkan penyakit kurang nafsu makan, puyeng, demam, kulit mengering, sakit lambung, bahkan colaps...
Betul gitu, Mam?
Kalo harus diikuti “apa saja maunya”, berarti gak perlu lagi dipikir-pikir dan ditimbang-timbang. Malah, katanya, sampe melakukan hubungan seksualpun “harus diikuti”. Ini sama aja meng-halal-kan segala cara. Dalam ajaran Islam dilarang kan, ya Mam? Na’udzu billahi min dzalik...!

Makanya, Mam, ajari aku mengenal cin... cinta...!
Aku baru merasakan, Mam. Jatuh cinta itu bikin jantung deg-degan, dada berdebar-debar dan darah mendesir-desir. Setiap hari dilamun desah, gelisah, gundah, susah dan segala macem hahahah...!
“Tuh, kan... Mama bilang juga apaaa...?” ledekmu sambil kau pencet hidungku. “Waktu terus berputar, hati kamupun berputar. Dulu benci, sekarang cintrong. Mokal, ah...”
“Eh, Mama, pake bahasa prokem segala...” aku cengengesan.

Jadi malu deh, Mam, kalo inget masa-masa benci dulu itu. Betapa judesnya aku. Padahal dia memang orangnya baik. Ramah, sopan dan nggak suka hura-hura. Beda sama temen-temennya itu yang suka abring-abringan kalo malam minggu. Ada yang jalan-jalan, nonton bioskop dan mojok di tempat-tempat sepi kayak siluman.
“Jadi sekarang gimana nih ceritanya...?” ledekmu lagi.
“Yaaa... gitu, deh,” sahutku imut-imut.
“Mulain bener-bener suka ni yee...”
“Kalo iye, itu kan takdir, Mam...”
“Eeh, anak Mama sekarang udah pinter ya. Makanya, jadi orang harus baik dengan siapa aja, apalagi kalo orang itu baik sama kita, ya sayang?”
Kau apit leherku dan kau tepuk-tepuk sebelah pipiku.
“Berarti, udah nggak benci lagi dong?” lanjutmu lagi.
“Nggak dong, Mam,” aku menggeleng manja. “Aku kan sekarang udah mulai dewasa. Kata buku yang aku baca, orang dewasa itu harus bijaksana...”
“Apa itu bijaksana?” tanyamu.
“Katanya, selalu menggunakan akal, tajam pikiran, pandai...” jawabku.
“Juga lapang dada, gak egois, menghargai pendapat orang, gak menuruti emosi, berpandangan jauh ke depan dan selalu berpikir ke arah yang baik...” tambahmu lebih panjang.
“Ih,Mama pinter...”
“Kamu juga ah...”

Hangatnya sentuhan kasihmu, Mam. Rasanya aku ingin lebih lama lagi dalam pelukanmu. Betapa damainya, Mam, dalam belaian kasih-sayangmu.
Sungguh teramat besar perananmu dalam hidupku, Mam. Engkau begitu setia dan sabar. Membimbingku, menuntunku, mengingatkanku, mengarahkanku dan mengajariku.
Tanpamu, Mam, entah gimana kejadianku hingga hari ini. Jasamu benar-benar sepanjang jalan, gak pernah putus, no lomite, never die. Nggak akan mampu aku membalasnya.

Aku selalu berdoa, semoga Alloh Yang Maha Pengasih dan Penyayang merahmatimu selalu sebagaimana curahan kasih-sayangmu padaku. Aamiin...
Doain juga ya, Mam, agar orang yang mencintai dan menyayangi anakmu ini membawaku ke jalan menuju surganya Alloh. Bahagia dunia dan akhirat.
Cup cup cup ah! Buat Mama tersayang......

**********


KETIKA CINTA BERCADAR: FOTO SLIDE SHOW

FOTO SLIDE BUKU "KETIKA CINTA BERCADAR" Ini adalah beberapa ulasan secara slide tentang buku KETIKA CINTA BERCADAR.