Monday, February 15, 2016

BAGAI MIMPI YANG BERLALU DI ALASROBAN



BAGAI MIMPI
YANG BERLALU
DI ALASROBAN

Memandangmu...
Ah, memandangmu
membuat aku teringat masa lalu,
meskipun kata orang
yang lalu biarlah berlalu
.....


Bagiku taklah semudah membalikkan telapak tangan untuk melupakan sesuatu yang pernah masuk ke relung hati yang terdalam.
Ini adalah cerita hidup, cerita yang tak kan pernah mati selama masih ada hidup. Tanpa cerita, manusia tak punya makna dan pelajaran.

Nyaris sepuluh tahun lebih, Ar, kita baru ketemu lagi. Wajahmu tak banyak berubah, masih nampak lembut, sendu dan menggetarkan.

Di pertokoan itu, kita hanya saling pandang. Tak ada kata yang terucap di antara kita. Hanya senyum yang terulas. Itupun terasa hambar dan gamang.

Rasanya penyesalan dan penasaran yang sudah mengendap di dasar hati, kembali mencuat.
Kenapa dulu aku begitu bodoh? Kenapa tidak mau berterus-terang kalau aku mencintaimu. Padahal peluang begitu banyak untuk mengungkapkannya. Aku malah sibuk berputar-putar dalam bait-bait puisi, yang akhirnya hanya membeku dalam lembaran-lembaran kertas yang bisu. Hingga pertemuan kita kali ini, engkau tak pernah tahu tentang semua tumpahan isi hatiku itu.

Sungguh...
Aku tak menyangka
kalau aku terbelenggu oleh rasa suka padamu
Bahkan kian lama, kian marak rasa suka itu di pelataran hatiku
Hampir tiap detik dirimu kubayangi
Sementara aku tak tahu, rasa apa yang ada dalam sukmamu
Ah, apakah aku saja yang mabuk...?

Masih banyak lagi letupan-letupan perasaanku yang tersimpan dalam ‘catatan monumental’-ku. Dan semua itu, kini tak berarti lagi buat kau ketahui. Apalagi, saat ini kau semakin jauh untuk bisa kugapai. Biarlah, catatan itu menjadi saksi ketololanku waktu itu.

Namun, Ar, ada yang paling berkesan dalam hatiku. Yakni ketika kau minta diantar ke Solo, yang membuat aku bisa berdekatan denganmu.
“Apa gak ada orang lain yang bisa nganter kamu?” tanyaku waktu itu.
“Gak ada,” jawabmu menggelengkan kepala.
“Kakakmu atau adikmu itu?”
“Kakakku sibuk kerja, adikku harus sekolah.”
“Orang tua kamu tahu kalo aku yang nganter kamu?”
“Udah kok.”
“Apa gak takut anak gadisnya kenapa-kenapa di jalan?”
“Mereka percaya sama kamu kok.”

Maka, dimulailah perjalanan yang penuh kenangan itu...
Jam tujuh malam, kita sudah berada di terminal Pulo Gadung. Kurang-lebih satu jam menunggu penumpang penuh, lalu buspun bergerak menembus kegelapan malam menuju ke arah timur Pulau Jawa.

Banyak cerita yang kita ungkap dalam perjalanan selama kurang-lebih dua belas jam itu. Dan, akhirnya sampai pada soal... cinta.

“Siapa pacarmu, Bi?” tanyamu malu-malu.
“Gak punya,” jawabku jujur.
Kamu mendesis.
Aku hanya senyum-senyum.
“Ada yang suka sama kamu, Bi,” ujarmu kemudian. “Tapi dia masih malu-malu...”
“Siapa dia?” tanyaku.
Kamu malah senyum-senyum, tidak menjawabnya.
Lalu aku coba mencari ide...
“Juga ada yang naksir kamu, Ar,” kataku. “Dia orang baru...”
“Siapa?” kamu terpancing.
Aku balas tak menjelaskannya.

Hening sesaat...
Malam kian terasa dingin. Banyak penumpang yang sudah tidur.
Sementara pembicaraan tentang “orang malu-malu” dan “orang baru” tak berkelanjutan lagi, hingga akhirnya tak terkuak sama sekali siapa sebenarnya. Keduanya jadi misteri hati yang terpendam hingga hari ini.
Sebenarnya, Ar, “orang baru” yang aku maksud itu adalah... aku! Nah, apakah “orang yang masih malu-malu  yang kau maksud itu adalah... dirimu?

Ah, bahasa samar itu membuatku terdampar dalam tanya panjang hatiku
Kiranya terlalu gegabah bila langsung kutangkap: “Adalah kau!”
Lebih baik kutunggu hingga gerbang rumahmu terbuka
Entah sampai kapan...?

Dan...
Dalam perjalanan pulang yang sendirian tanpa kamu itu, aku dilanda gundah yang luar biasa. Aku merasa kehilangan dirimu. Sampai akhirnya aku tertidur dari Semarang sampai Cirebon.

Kubiarkan mimpi berlalu di Alasroban
Bercerita bersama ranting-ranting di ubun malam
Kutangkap kelambu fajar di kota udang
saat mata langit melirik sendu
Dep!
Ada jerit menabrak gereba senyap batinku
Padi-padian jadi saksi utuh
Aku kangen kamu, Ar...

***

Itulah masa lalu kita, Ar...
Semua itu masih ada mengendap, meski terpendam jauh dalam lubuk hatiku.
Dan kini, kau sudah menggendong seorang anak kecil. Itu berarti, kau sudah tak sendiri lagi. Sementara, aku memang masih menyimpan rasa ingin memilikimu. Kamu lebih istimewa dalam sanubariku di antara gadis-gadis yang pernah menyentuh hatiku.
Namun, semua itu hanya keinginan belaka. Walau cinta bisa “selingkuh”, itu tak kan mungkin pernah terjadi di antara kita. Sebab kita adalah orang-orang yang beragama, yang harus menjunjung tinggi nilai kesucian dan akhlak mulia.

Memang terasa sulit, Ar, untuk melupakanmu sepenuhnya. Apalagi bila aku menempuh perjalanan ke arah timur Pulau Jawa, kembali membayang kenangan perjalanan masa lalu kita itu...

Setiap jalan yang pernah kita tapaki
membingkai rasa ingat dalam kisi-kisi senyap jiwaku
menyapaku dalam perjalanan-ulang
membawaku ke hari-hari bercecer kenangan

Serasa kau berada di sisiku dalam wujud nyata

Biarlah cinta hanya menggema dalam rasa
karena cinta tak harus saling memiliki
walaupun ini adalah takdir yang getir...

“Semoga kau selalu bahagia bersama keluargamu, Ar,” doaku penuh harap.
Kau pun sudah menghilang dari pandanganku di antara orang-orang yang hilir-mudik di pertokoan itu. Sementara aku tak tahu di mana kau tinggal bersama keluargamu hingga saat ini. Rasanya itu tak perlu aku tahu

Akhirnya memang, Ar... yang lalu biarlah berlalu, bagai mimpi yang berlalu di alasroban... Biarlah jadi kenangan semata hingga akhir hayat...

**********


No comments:

Post a Comment

KETIKA CINTA BERCADAR: FOTO SLIDE SHOW

FOTO SLIDE BUKU "KETIKA CINTA BERCADAR" Ini adalah beberapa ulasan secara slide tentang buku KETIKA CINTA BERCADAR.