Tuesday, February 23, 2016

JANJI CINTA



  JANJI
  CINTA

Bidadari Surga-nya
milik Ustadz Jefri Al-Bukhori
berbunyi di hape-ku.
Kulihat siapa yang calling.
Nomer baru. Siapa ya?
Ragu-ragu aku oke...

Salam ‘alaikum...” suara perempuan.
Wa ‘alaikum salam...” jawabku.
“Ini kak Ram, kan?”
“Euu... Ini siapa dulu?”
“Bilang dong, ini kak Ram, kan?”
“Iya-iya...”
Alhamdulillah... Kok lama banget sih ngangkatnya? Lupa yaaa...?”
“Iya... Tapi, maaf, ini siapa?”
“Kita pernah ketemu satu kali, tapi aku masih ingat suara kakak...”
“Aduh... Aku gak ingat lagi...”
“Betul?”
“Iya, betul.”
“Oke... Aku adalah Aminah Natalia dari Manadooo...”
“Mm... Seingatku... gak punya tuh kenalan dari sana, Manado.”
“Mungkin betul. Tapi, kalo Gethli Natalia...?”
“Kamu Gethli Natalia?”
“Iya. Itu nama lamaku.”
“Kok ganti nama sih?”
“Ceritanya nanti aja deh, kak. Sekarang aku ada di Bandara Soekarno-Hatta. Jemput aku ya...”
“Oke-oke...”

Setibanya di bandara, aku sempat kesulitan mencari gadis kelahiran Tinoor itu. Sebangku duduk dan barisan orang-orang yang berdiri kuperhatikan dengan jeli. Dan tiba-tida dari arah lain...
“Kak Ram!”
Uph! Aku membalikan badan. Aku tertegun memperhatikannya. Kerudung krim berpadu dengan busana takwa yang cerah, mungkinkah itu dia...?
“Ini aku...!” seru Gethli sambil melambaikan tangannya dan berlari kecil ke arahku.
“Gethli...” Aku serasa mimpi dan terpaku memandanginya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Pangling aja...” jawabku. “Aku pikir, kita gak ketemu lagi...”
“Lima tahun yang lalu, kak Ram pernah bilang begitu. Padahal kalo Alloh menghendaki, segalanya bisa terjadi. Iya, kan?”
“Betul itu, dan buktinya sekarang ya...”

Aku dan Gethli menuju kantin. Sambil menikmati makanan dan minuman ringan, aku tuangkan rasa penasaranku...
“Ngomong-ngomong, ada apa dengan namamu ganti, ditambah lagi bicara kamu ada unsur-unsur Islamnya ya?” tanyaku santai.
“Lho, masa kakak gak merasa sih, kalo aku sekarang udah menjadi muslim?” jawabnya sambil memandang wajahku.
“Ya kan kamunya belum ngasih tahu. Rasanya kurang etis kalo aku nanya tentang agama kamu. Nanti aku malah dianggap mau ngajak kamu pindah agama. Sedangkan dalam ayat Al-Quran nggak boleh memaksa orang untuk masuk agama Islam.”
“Kalo sekarang aku ganti nama dan bicara pake unsur-unsur Islam, ya itu karena aku sekarang udah masuk Islam...”
“Lantas, dari mana kamu mengawalinya hingga kamu masuk Islam? Bisa cerita sedikit, kan...?”
“Awalnya sih, aku sering membaca Al-Kitab dan menyimak ceramah-ceramah pendeta di gereja. Lalu aku sering membanding-bandingkannya dengan isi Al-Quran terjemahan yang aku pinjam dari seorang teman muslim. Pertama aku memegang Al-Quran, tanganku gemetar. Aku pernah dengar ceramah seorang ustadz, bahwa Al-Quran itu adalah sebuah Kitab yang ajaib...”
“Memang benar itu. Baca dalam surat Al-Jin ayat 1. Ya, terusin ceritanya...”
“Jadi panjang nih...”
“Ya gak apa-apa...”
“Nah, ingat dengan kata ‘ajaib’ itu, aku jadi penasaran. Satu per satu aku luangkan waktu untuk membaca ayat-ayat Al-Quran dari Al-Quran terjemahan itu. Semakin lama aku seperti mendapatkan pencerahan dalam pikiran dan hatiku, yang selama ini belum pernah aku dapatkan dari Al-Kitab ataupun dari ceramah-ceramah pendeta di gereja. Setelah menemukan bahwa Islam agama yang terbaik di sisi Alloh, lalu aku bulatkan hati untuk masuk Islam aja...”
“Mm... Selain itu, ada gak orang lain yang memotivasi kamu untuk masuk Islam.”
“Gak ada. Ini kemauan aku sendiri...”
“Luar biasa! Kamu emang cerdas. Dari surat yang kamu kirim dulu itu aja, aku udah merasa Gethli ini orangnya kritis.”
“Kakak bisa aja. Emang masih ada suratnya, kak?”
“Ada lah. Nih aku simpan dalam foto hape...”


Gethli senyum-senyum memandang tulisan tangannya yang dikirimkan padaku tahun 1993. Kemudian dia mengcopynya ke memori hapenya.
“Eh, tujuan kamu selanjutnya ini mau ke mana?” tanyaku mengingatkan.
“Ke Bogor,” jawabnya. “Ke rumah paman. Dia udah lebih dulu masuk Islamnya. Sekarang dia punya pondok pengajian. Sambil belajar mengaji, aku juga mau cari kerjaan juga. Dan... satu lagi, ada yang gak kalah pentingnya juga, aku mau menagih hutang ke kak Ram...”
“Hutang?” aku merasa aneh. “Emangnya aku punya hutang sama kamu?”
“Yah.”
“Hutang yang mana?”
Hutang... janji...”
“Hutang janji? Janji apa ya...?”
“Lima tahun lalu, sewaktu kakak nyimpang ke Manado setelah dari Ambon, kakak pernah bilang...”
“Ya ya ya... aku ingat! Bahwa aku akan menikahi kamu, kalo kamu masuk Islam. Tapi kan, waktu itu kamu bilang aku cuma becanda...”
“Aku kan waktu itu masih Katholik, kak. Nggak mungkin lah aku setuju. Kakak bilang orang Islam itu haram menikah dengan non-muslim...”
“Kamu serius?” aku menatapnya.
“Yah,” dia mengangguk.
“Kapan aku harus bayar hutang janji itu?”
“Sekarang.”
“Gak ada tempo lagi?”
“Gak ada.”
“Baiklah...”

Taksi president biru langit segera meluncur menuju Bogor, ke rumah pamannya Aminah Natalia, untuk meminta bantuan prosesi pernikahan, demi merealisasikan janji: Janji cinta...!

**********




No comments:

Post a Comment

KETIKA CINTA BERCADAR: FOTO SLIDE SHOW

FOTO SLIDE BUKU "KETIKA CINTA BERCADAR" Ini adalah beberapa ulasan secara slide tentang buku KETIKA CINTA BERCADAR.