Monday, February 1, 2016

PARNI, PRIMADONA PANTAI UTARA



PARNI,
PRIMADONA PANTAI UTARA


“Haduuhhh...” keluhku kecapean, teman-teman yang lain juga sama.
Hari itu panas cukup menyengat. Langit sangat cerah. Tak ada gumpalan awan berseliweran. Musim kemarau mulai datang.
Kami masih berempat orang dalam tim memancing ini. Hanya saja posisi Pak Is dan Bang Ama digantikan oleh Bang Zen dan Iwan.
Kami –aku, Bang Zen, Oga dan Iwan—segera menghempaskan perlengkapan mancing begitu sampai di balai bambu di rumah Pak Ranin, wakil penduduk di muara tambak ini.
“Gimana kabarnya, pak wakil?” tanyaku setelah mengucapkan salam.
“Biasa aja, baik,” jawab pak Ranin ramah. “Baru mancing lagi nih?”
“Ya maunya sih setiap, pak,” selorohku.
“Soalnya ada yang diintip, pak,” kelakar Oga.
“Ikan yang mana?” kilahku.
“Ikan yang katanya berambut pirang itu ya?” Bang Zen nimbrung.
“Kayak udah tau aja ah...” tepisku sedikit malu.
“Wajar aja, laki-laki kok...” Pak Ranin menetralisir suasana.

Setelah bosan bercanda-canda, pemanasan memancing dimulai di atas jembatan. Nanti setelah zuhur baru pindah ke ujung muara sungai di tepi pantai.
Bang Zen, Oga dan Iwan sudah mengambil posisi masing-masing. Sementara aku masih ada obrolan sama Pak Ranin.
“Al, ente masih inget gak sama Parni?” tanya Pak Ranin.
“Parni? Ya masih inget lah, pak,” jawabku sedikit berdebar.
“Beberapa hari ini, dia sering nanyain ente kalo lewat sini.”
“O gitu ya, pak. Cuma basa-basi aja kali, pak...”
“Nggak tau juga sih...”

Parni... Sebulan yang lalu kita sempat bertemu di sini. Ku pikir, kamu sudah lupa sama aku. Sebab, wanita ‘gituan’ kan menganggap laki-laki hanya sebatas angin lewat. Yang penting duitnya nyangkut. Bukan cinta murni yang dicari, tapi nafsu birahi yang dilambari keinginan untuk mendapatkan uang. Lalu, ada apa denganmu saat ini, Par?

“Al, kedatangan ente hari ini tepat sekali,” ujar Pak Ranin.
“Apanya, pak?” aku tersadar dari lamunan sesaat.
“Sebelomnya, tadi malem ente mimpi apa?”
“Melihat presiden didampingi sama menterinya.”
“Tepat bener, Al...”
Aku masih belum mengerti.
Pak Ranin malah menyalakan sebatang rokok. Dihisapnya dalam-dalam. Asap mengandung nikotin berhamburan dari hidungnya diiringi batuk-batuk kecilnya.
“Mau tahu, Al?”
Aku mengangguk penasaran.
“Ini hari, Parni lagi melangsungkan pernikahannya...”
Alhamdulillah...”
Pyar... Hatiku sangat lega. Aku sangat bersyukur kepada Alloh. Semoga, Parni tak pernah lagi menjadi kupu-kupu di malam hari. Apapun alasannya, perempuan tak bisa dibenarkan mencari nafkah seperti itu. Sebab, masih banyak lahan pekerjaan lain yang bisa dilakukannya. Dan, kalau kita mau saling peduli, aku rasa masalah-masalah seperti itu tidak akan pernah ada.

“Al, aku udah dapet banyak nih...!” seru Iwan dari jembatan.
“Yaa... lanjut aja terus...” jawabku santai.
Aku lebih tertarik dengan cerita Pak Ranin tentang Parni dulu...
Bahwa, Parni dulunya adalah “primadona” di pantai ini. Banyak anak muda yang tertarik padanya. Malah anak Pak Ranin sendiri sempat suka padanya. Tapi akhirnya Parni disunting oleh anak bos pelelangan, namanya Seto. Sayangnya, Seto adalah anak muda yang suka mabok-mabokan dan judi. Dan ketika Parni sedang hamil, Seto menceraikannya dengan alasan “sudah tidak enak lagi dipakainya”. Orang tua Parni tidak bisa berbuat banyak.
Selanjutnya, Parni mengalami beberapa kali kawin-cerai. Mungkin karena sudah tidak percaya lagi dengan laki-laki, dia lalu berhubungan dengan laki-laki hanya sebatas untuk mendapatkan uang saja. Akhirnya dia sering keluyuran malam hari...
“Kasihan Parni...” komentarku sedih.
“Gimana kalo nanti sore kita datang ke pernikahannya Parni?” ajak Pak Ranin.
“Boleh, pak,” jawabku antusias.

Sore itu... benar-benar menjadi lautan kebahagiaan...
Saat aku melihat Parni dengan gaun pengantinya yang sederhana itu, dia memang cantik. Dia berlari memburu ke arahku. Saat hendak memelukku, aku menahannya demi menjaga perasaan suaminya yang ada di belakangnya. Dia menggenggam erat tanganku dan menempelkannya ke dahinya. Hingga terasa air matanya memabasahi tanganku.
Terima kasih banyak, bang...” berkali-kali Parni mengucapkan itu.
“Semoga Alloh membibimbing dan memberkahi kamu dan keluargamu...” ujarku sambil memandangnya penuh rasa senang. Lalu aku berpesan kepada suami barunya itu, “Jaga Parni baik-baik ya, bang. Semoga keluarga kalian selalu rukun dan bahagia...”
“Aamiin...” angguknya sambil tersenyum.

Tak lama aku dan Pak Ranin mohon pamit.
Parni melambaikan tangannya sambil menitikkan air mata.
Aku memandanginya penuh rasa haru. Beberapa butir air bening sempat jatuh pula dari mataku. Rasanya aku akan selalu teringat dengan peristiwa ini...

 


>>> Cerita ini adalah lanjutan dari: KU PANCING IKAN SUMBILANG, YANG DATANG KUPU-KUPU BERAMBUT PIRANG - Tamat <<<


                                                (Memori mancing kedua di Pantai Utara, 2006)


***************

No comments:

Post a Comment

KETIKA CINTA BERCADAR: FOTO SLIDE SHOW

FOTO SLIDE BUKU "KETIKA CINTA BERCADAR" Ini adalah beberapa ulasan secara slide tentang buku KETIKA CINTA BERCADAR.