Sunday, January 31, 2016

DUA PENDEKAR ISLAM (FOTO)

Ini adalah cover buletin "TAZKIRAH" terbitan "Remaja Muslim Mesjid Nurul Amal" (IRMUNA)  Rengasdengklok, tahun 1411 H.
Untuk mengenang aktifitas IRMUNA dulu, saya sebagai salah satu mantan ketuanya, ingin mengangkat kembali tema perjuangan para mujahidah yang tak kan pernah mati itu.
DUA PENDEKAR yang disuguhkan di sini ialah:
1. NUR BIBI (Afghanistan)
2. SANA NAIDALY (Lebanon Selatan).

Selamat menyimak ....!

Thursday, January 28, 2016

KU PANCING IKAN SUMBILANG, YANG DATANG KUPU-KUPU BERAMBUT PIRANG



“Sudah siap?!”
“Sudah!!”

Dua motor dengan penumpang empat orang
segera lepas-landas meninggalkan kebisingan kota yang gerah,
menuju pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di ujung kota Karawang.
Di wilayah ini ada dua pengeboran minyak bumi,
dan di sisi-sisi pantainya berjejer tambak-tambak ikan.
Jadilah wilayah pantai ini disebut sebagai
Tambak Sumur”.

Siang itu, kamiaku, Pak Is, Bang Ama dan Oga—sudah tiba di wilayah tambak. Kami ke pelelangan ikan sebentar untuk membeli umpan, yaitu berupa udang-udang kecil.

“Umpannya dua kilo sekalian...” kelakarku.
“Kebanyakan atuh...” pangkas Oga.
“Kan sisanya bisa dibawa pulang, kalo mancingnya gak dapet...” sambung Pak Is.
“Heh, dapet atau gak dapet, yang penting refreshing. Sudah yuk ah, baunya bikin puyeng...” tukas Bang Ama.

Diam-diam ada empat pasang bola mata mengawasi kami dari warung tepi jalan. Itu tuh, kupu-kupu genit berambut pirang. Saat mau cabut, iseng-iseng ku beri isyarat....

“Daah....”

Mereka membalasnya dengan kecupan jarak jauh.

Kami berempat ketawa meledak-ledak. Ada-ada saja. Astaghfirulloh...

Lanjut...

Perjalanan sekitar tiga kilometer lagi menuju muara di tepi pantai. Meskipun susah-payah menyusuri liku-liku pematang tambak, akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan itu, dengan nafas ngos-ngosan.

Istirahat sebentar...

Lalu kami bersiap-siap mengambil posisi di sekitar sungai. Oga nangkring di akar pohon bakau. Pak Is di seberang jembatan. Aku dan Bang Ama di badan jembatan.

Bosan dengan ikan-ikan lundu melulu, kemudian kami berburu ikan sumbilang di muara tepi laut. Oga, Pak Is dan Bang Ama dapat beberapa ekor sumbilang, sedang aku satupun tak dapat.

Sore harinya, kami berkemas pulang. Tapi, ban depan motor Bang Ama kempes. Untung di sekitar penduduk pantai ada tukang tambal ban. Bang Ama dibantu Oga mendorong motornya ke sana.

Aku dan Pak Is menunggu di jembatan sambil uncang-uncang kaki dan ngobrol sana-sini.

           Matahari makin memerah hendak tenggelam menuju waktu maghrib.

Sholat dulu yuk...” ajakku.
“Nanti ajalah digabung sama isya...” jawab Pak Is.

Perlahan-lahan malam terus menyempurnakan selimut gelapnya. Suara-suara serangga makin riuh terdengar. Suasana alam benar-benar nyaman, sejuk dan damai. Inilah pengalaman pertamaku di pantai.

Tiba-tiba tercium aroma parfum dari arah pantai. Tak lama muncullah dua sosok perempuan di bawah keremangan cahaya bulan.

“Lagi mancing, bang?” sapa salah seorang perempuan itu.
“Iya,” jawabku sekenanya.

Perempuan itu lalu jongkok di samping sebelah kananku, tanpa permisi lagi. Temannya masih berdiri.

“Par, aku ke sana dulu ya?” ujar perempuan yang satu lagi.
“Iya, gih,” jawab si Par.

Sementara itu aku tak melihat lagi Pak Is. Entah kapan dia ngungsinya. Tahu-tahu suaranya sudah ada di seberang jembatan.
 “Hati-hati kecebur, kawan...” katanya sambil cekikikan.

Tinggallah aku berduaan dengan perempuan asing itu di jembatan.

 Mungkinkah dia hantu? Soalnya aku sama sekali tidak tahu seluk-beluk suasana malam di pantai ini.

“Pancingnya mana, bang?” tanya perempuan itu.
“Mancingnya udahan. Aku dan bapak itu...” sambil aku menunjuk ke arah Pak Is di seberang jembatan, “lagi nunggu teman-temanku nambal ban motor...”
“Ooo, gitu...” ujarnya kelamas-kelemes.
“Kamu mau ke mana malem-malem gini?” tanyaku ingin tahu.
“Biasa, bang,” jawabnya enteng. “Tiap malem aku emang seperti ini...”
“Mm...” aku manggut-manggut. “Jangan-jangan kamu ini... perempuan yang di warung tadi siang itu ya?”
“Heu-euh,” dia mengangguk, lalu mengulurkan tangan kanannya. “Kenalan dong, bang. Namaku Parni.”
“Aku Alam,” jawabku sambil melepaskan genggaman jemarinya yang terasa lengket di telapak tangan.
“Kayak penyanyi,” dia tersenyum mendesis.

Sejenak hening. Tiupan angin laut menggerai-geraikan ujung rambutnya yang sebahu. Bulan yang redup menjadi saksi.

“Bang, kita ke sana yuk...” ujar Parni sambil menunjuk ke rumah kecil di tepi sungai.
“Di sini juga enak,” tolakku halus.
“Biasanya malem-malem gini gak banyak basa-basi lo, bang.”
“Aku ke sini cuma mau mancing kok.”
“Sekalian, bang, biar tambah enak.”
“Sebentar...” Aku menahan tarikan tangan Parni dan melepaskannya. “Ada bayarannya gak?”
“Nggak mahal kok, bang,” jawab Parni sambil membereskan rambutnya.
“Mm...” Aku berpikir keras. “Udah lama jadi ginian?”
“Maksud abang?”
“Yaa... jadi kupu-kupu... di malem gelap, gitu...”
“Kok nanyanya gitu sih, bang?”
“Jangan tersinggung dulu. Aku cuma pengen tau permainan kamu aja...”
Dia diam sesaat. Lalu katanya, “Sebenernya abang mau gak sih?”
“Mana ada laki-laki normal yang gak mau...” jawabku jujur.

Kembali dia diam. Pandangannya kosong ke arah sungai. Meskipun samar, dia cukup cantik. Aku heran, apakah dia sudah tidak laku lagi, sehingga harus menjadi kupu-kupu malam begini? Ada apa dengannya?

Tiba-tiba aku punya ide. Akan aku coba, mumpung Oga dan Bang Ama belum selesai nambal ban motornya.

“Sekarang aku mau menawar kamu, boleh?” tanyaku memancing.
“Iya, bang,” dia mengerjap sumringah.
“Bagiku perempuan itu adalah barang mahal. Aku akan menghargakan diri kamu dengan sesuatu yang sangat berharga yang aku punya.”
“Apa itu, bang?” tanyanya penasaran.
“Hati!” jelasku.
“Hati?” ulangnya.
“Ya. Selama ini mungkin laki-laki hanya menghargakan kamu dengan beberapa lembar uang. Tapi aku menghargakan diri kamu dengan hatiku.”

Dia menatapku. Tak ada kata dari bibirnya. Mudah-mudahan hatinya terbuka...

Aku ingin menawarkan cerita lain bagi kehidupan Parni. Sebab, hati siapapun tak akan membenarkan perempuan berkeliaran di malam hari, apalagi sambil menjajakan kehormatan dirinya. Aku bukan sok alim, sok suci dan sok tahu. Menurutku, tidak selamanya kupu-kupu malam harus bertemu dengan kumbang jalang berhidung belang. Dan, malam ini harus ada kunang-kunang yang berusaha menerangi jalan hidup Parni....

“Kamu cantik, Par,” sanjungku. “Aku yakin, masih banyak laki-laki yang mau menjadikanmu isteri.”
“Udah terlambat, bang,” ujarnya hampa. “Aku kecewa. Aku frustasi...”
“Kamu senang tiap malem begini? Sementara yang kamu tawarkan adalah mahkota yang sebenarnya gak boleh dijual.”

Tak ada jawaban. Wajahnya menunduk. Dia bangkit dari duduknya. Kali ini dia jaga jarak denganku. Rupanya dia masih punya rasa pengertian.

“Keputusan ada di tangan kamu, Par,” ujarku lagi mencecar sisi-baik yang ada dalam hatinya. “Jika malem ini kamu pulang, lalu berdoa dan tidur, niscaya Alloh akan memberi mimpi indah yang nyata.”
“Apakah aku masih mampu?” Dia meragukan dirinya. “Sementara aku harus menutupi kebutuhan hidupku dan anakku.”
“Niat yang mantap akan mengalahkan segalanya. Ingat, ada Alloh yang akan selalu membantumu.”
“Entahlah, bang, aku bingung...”
“Berusahalah... Mudah-mudahan kita ketemu lagi dalam suasana yang udah berbeda...”
“Iya, bang...”

Aku melihat ada air mata mengalir di pipinya. Hatikupun trenyuh merasakan beban hidup yang dialaminya. Sebelum berpisah, aku sempat mengepalkan beberapa uang lembaran di tangannya.

“Nggak usah, bang,” tolaknya.
“Terimalah...” aku sedikit memaksanya. “Anggaplah ini pemberian dari saudaramu yang ikhlas, bukan dari laki-laki yang ingin merendahkanmu...”

Lalu dia pergi. Semoga saja dia pulang dan tidur.

Dan setelah Oga dan Bang Ama selesai nambal ban motornya, kamipun segera pulang meninggalkan muara tambak yang senyap dan dingin itu.

Selamat tinggal, Par....!


>>> Baca lanjutannya : PARNI, PRIMADONA PANTAI UTARA <<<

( Memori mancing di Pantai Utara, 2006 )

**********

Thursday, January 21, 2016

TERORIS CINTA





Baru saja Azwajun Muthoharoh
–jilbaber yang biasa dipanggil Azwa itu—
keluar dari gerbang sekolah,
tiba-tiba.....

Az!”

Suara itu tidak asing lagi di telinga Azwa.  Dia menghentikan langkahnya. Menoleh ke sebelah kiri dengan malas.

“Ada apa lagi, Bronx?” tanya Azwa sedikit ketus.
“Gimana dengan tawaran gue itu?”

 Bronx tak berani menatap lama wajah Azwa. Mungkin karena empati dan pamor Azwa yang memancar dari energi tahajjud-nya.

“Kamu belom juga bosen ya?” tanya Azwa menohok.
“Ya iya lah...” jawab Bronx seenaknya. “Kalo gue udah bosen, gak bakalan gue ada di sini lagi...!”
“Heh, playboy tengik!” semprot Nadiva yang dari tadi sudah naik pitam melihat kelakuan Bronx. Jilbaber yang satu ini suaranya lantang dan pemberani.
“Emangnya elo udah gak laku lagi di kalangan cewek-cewek modis itu?” lanjut Nadiva. “Trus... elo ditinggalin ya? Dan sekarang, elo berani-beraninya ngedeketin ukhti gue ini. Kacian de loo...!”
“Gue gak ada urusan sama lo, heh Arab!” balas Bronx sengit.
Nadiva tambah menegang darah keturunannya dibawa-bawa. Untung Azwa segera mengendalikannya.
“Sudahlah, Nad, biar aku yang jelasin,” redam Azwa.
“Begini, cowok,” lanjut Azwa kepada Bronx. “Sebenarnya, jujur aja ya, dari awal-awal aku udah muak dengan cara-cara kamu ini. Nggak sopan, gak berperasaan, gak tahu tempat, semau gue, asal ngomong. Nah, apa kamu belom ngerti sikapku itu?”
“Terserah lo,” sungut Bronx. “Pokoknya, cewek yang gue bidik, mesti gue dapetin. Gitu!”
“Gila lo!” sela Nadiva lagi. “Udah, Az, kita tinggalin aja teroris tengil ini...!”
“Sebentar, Nad,” tahan Azwa memegang lengan Nadiva.
“Oke...” lanjut Azwa kepada Bronx. “Perlu kamu renungin, dalam prinsip hidupku, bahwa laki-laki yang baik ialah untuk perempuan yang baik. Maaf, aku gak bilang kalo diri kamu gak baik. Sekarang kamu silahkan banyak-banyak ngaca diri. Nah, udah waktu zuhur, aku mau pulang dulu. Salam ‘alaikum...”
“Gue gak peduli sama omongan lo...” balas Bronx. “Tunggu aja tanggal mainnya...!”
“Suka-suka lo!” sungut Nadiva. “Mudah-mudahan kesandung batu lo. Dasar teroris cinta picisan...!”

Bronx memandangi kepergian Azwa dan Nadiva. Dalam hatinya penuh tekad membara. Sekuat apa sih seorang Azwa, bisik hatinya. Lihat aja nanti!

***

Malam minggu....

Di rumah Azwa... Daun pintu ada yang mengetuk dari luar. Umi Azwa segera membukakannya....
“Permisi, bu, tante...” ujar si tamu tak diundang itu.
“Ya...” Umi Azwa heran, tamunya gak bilang salam. “Siapa ya?”
“Aku Bronx, temennya Azwa di sekolah,” jawab Bronx. “Bisa ketemu Azwa, bu, tante...?”
“Ooh...” Umi Azwa mempersilahkan duduk.
“Terima kasih,” ujar Bronx sopan.

Sementara di dalam, Azwa dan uminya terlibat perdebatan kecil. Azwa enggan menemui cowok playboy dan teroris tengik itu.

“Aduh, mi... Bilang aja, Azwa itu gak ada. Dia itu anak paling nyebelin di sekolah.”
“Tapi dia sopan, ramah lagi.”
“Bisa aja, mi, dia begitu sementara. Dia itu terus nembak Azwa. Tapi Azwa gak suka sama kelakuannya...”
“Tapi dia ganteng juga lho...”
“Ah, umi, malah ngegodain sih...”
“Sudah, sebaiknya temuin aja, jangan menghindar. Tanya, apa tujuannya. Bersikap tegas, agar orang gak meremehkan kita. Ayo...!”

Akhirnya, Azwa ngeloyor juga keluar...

“Kamu lagi,” sapa Azwa pada Bronx yang sedang deg-degan.
“Eeuu... iya, Az...” sahut Bronx sedikit gugup. Apalagi jilbab dan busana Azwa serba hitam, membuat nyali Bronx menjadi ciut.
“Apalagi sih?” tanya Azwa. “masih soal tawaran itu?”
“Euu... nggak.” Bronx tambah gugup. “Aku cuma mo ketemu kamu aja...”
“Tumben basa-basi kamu robah. Biasanya kan elo-gue.”
“Ini kan... sama kamu.”
“Oo..., jadi kalo sama orang lain gak robah, gitu?”
“Yaa mau sih... Dikit-dikit, gitulah, hehehe...”
“Lantas, kalo udah ketemu begini, mau apalagi?”
“Gue, eh aku, mo ngebuktiin pada temen-temen aku bahwa aku berani dateng ke rumah kamu...”
“Jadi, kamu sekarang udah jagoan nih ceritanya, gitu?” Azwa ketawa kecil. Lucu, pikirnya. Cuma soal kayak begitu dibela-belain.
“Ya gitulah...”
“Heh, Bronx...,” lanjut Azwa. “Semua orangpun boleh dateng ke rumahku, asal dateng secara baik-baik.”

Kemudian Azwa punya ide. Katanya, “Gimana kalo sekarang aku kasih saran kamu, supaya jadi lebih pemberani dan jagoan lagi. Mau gak?”
“Boleh,” Bronx mengangguk seperti kerbau yang sudah dicocok hidungnya.
“Coba sekali-kali kamu dateng ke pengajian, gimana?”

Bronx sedikit kaget. Dia orang yang hampir tidak pernah ikut pengajian.

Takut?” tembak Azwa.
“Gaaak...” Bronx menggelengkan kepala.
“Kalo kamu bisa, akulah orang pertama yang bilang jagoan!”
“Oke...”

Sepanjang jalan pulang, jiwa Bronx bergolak. Terjadi dialog dalam dirinya...

Kenapa gue mesti nurutin saran di Azwa ya?
“Kan mo jadi jagoan!”
Tapi, itu kan namanya gue kalah.”
“Siapa tau itu jalan buat ngedapetin Azwa.”
Iya juga ya. Cumen masalahnya, temen-temen gue bisa teriak-teriak: Bronx kalah!”
“Apa salahnya mengalah dulu, terus menang!”
Bener juga tuh.”
“Nah, udah siap jadi jagoan versi Azwa?”
Oke, siap!”

***

Pengajian akbar di Mesjid Agung baru saja usai. Pengajian ini dilaksanakan tiap tahun dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriyah. Semua jamaah bersiap-siap hendak pulang.

Dua orang perempuan menuju ke mobil yang diparkir di pinggir jalan. Seseorang mendekati dua perempuan itu dari belakang....

Assalamu ‘alaikum...”
Wa’alaikum salam. Bronx?”
“Ya Azwa.”
“Kamu ini bener-bener kayak teroris, di mana aja ada, selalu ngagetin...!”
“Gue, eh aku, minta maaf,” ujar Bronx merendah. “Aku mo bilang, mulain malem ini gak ada lagi yang namanya Bronx, teroris, playboy atau apalah....”
“Bener?” Azwa belum yakin.
“Akan aku buktikan,” tandas Bronx.
Alhamdulillah,” gumam Azwa. Mudah-mudahan anak ini kembali menjadi Rosyidin lagi seperti dulu, yang lugu, sederhana dan juara....
“Hanya itu aja, Az, maksudku ini...” Bronx hendak membalikkan badannya untuk pergi.
“Eh, tunggu...,” tahan Azwa. “Aku belom bilang ke kamu kalo kamu....”
Jagoan?” potong Bronx. “Kamulah yang jagoan, Az...”

Sesaat Azwa tercenung memandangi kepergian Bronx dalam temaram malam. Hatinya mulai simpati. Kamulah yang jagoan, batinnya kepada Bronx. Seperti ada yang tercuri dalam ruang batinnya.

“Sudahlah, besok masih ada waktu...” ujar umi menyadarkannya. Beliau mengerti perasaan apa yang sedang bergolak dalam dada puterinya saat ini.....

********

KETIKA CINTA BERCADAR: FOTO SLIDE SHOW

FOTO SLIDE BUKU "KETIKA CINTA BERCADAR" Ini adalah beberapa ulasan secara slide tentang buku KETIKA CINTA BERCADAR.