Thursday, January 28, 2016

KU PANCING IKAN SUMBILANG, YANG DATANG KUPU-KUPU BERAMBUT PIRANG



“Sudah siap?!”
“Sudah!!”

Dua motor dengan penumpang empat orang
segera lepas-landas meninggalkan kebisingan kota yang gerah,
menuju pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di ujung kota Karawang.
Di wilayah ini ada dua pengeboran minyak bumi,
dan di sisi-sisi pantainya berjejer tambak-tambak ikan.
Jadilah wilayah pantai ini disebut sebagai
Tambak Sumur”.

Siang itu, kamiaku, Pak Is, Bang Ama dan Oga—sudah tiba di wilayah tambak. Kami ke pelelangan ikan sebentar untuk membeli umpan, yaitu berupa udang-udang kecil.

“Umpannya dua kilo sekalian...” kelakarku.
“Kebanyakan atuh...” pangkas Oga.
“Kan sisanya bisa dibawa pulang, kalo mancingnya gak dapet...” sambung Pak Is.
“Heh, dapet atau gak dapet, yang penting refreshing. Sudah yuk ah, baunya bikin puyeng...” tukas Bang Ama.

Diam-diam ada empat pasang bola mata mengawasi kami dari warung tepi jalan. Itu tuh, kupu-kupu genit berambut pirang. Saat mau cabut, iseng-iseng ku beri isyarat....

“Daah....”

Mereka membalasnya dengan kecupan jarak jauh.

Kami berempat ketawa meledak-ledak. Ada-ada saja. Astaghfirulloh...

Lanjut...

Perjalanan sekitar tiga kilometer lagi menuju muara di tepi pantai. Meskipun susah-payah menyusuri liku-liku pematang tambak, akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan itu, dengan nafas ngos-ngosan.

Istirahat sebentar...

Lalu kami bersiap-siap mengambil posisi di sekitar sungai. Oga nangkring di akar pohon bakau. Pak Is di seberang jembatan. Aku dan Bang Ama di badan jembatan.

Bosan dengan ikan-ikan lundu melulu, kemudian kami berburu ikan sumbilang di muara tepi laut. Oga, Pak Is dan Bang Ama dapat beberapa ekor sumbilang, sedang aku satupun tak dapat.

Sore harinya, kami berkemas pulang. Tapi, ban depan motor Bang Ama kempes. Untung di sekitar penduduk pantai ada tukang tambal ban. Bang Ama dibantu Oga mendorong motornya ke sana.

Aku dan Pak Is menunggu di jembatan sambil uncang-uncang kaki dan ngobrol sana-sini.

           Matahari makin memerah hendak tenggelam menuju waktu maghrib.

Sholat dulu yuk...” ajakku.
“Nanti ajalah digabung sama isya...” jawab Pak Is.

Perlahan-lahan malam terus menyempurnakan selimut gelapnya. Suara-suara serangga makin riuh terdengar. Suasana alam benar-benar nyaman, sejuk dan damai. Inilah pengalaman pertamaku di pantai.

Tiba-tiba tercium aroma parfum dari arah pantai. Tak lama muncullah dua sosok perempuan di bawah keremangan cahaya bulan.

“Lagi mancing, bang?” sapa salah seorang perempuan itu.
“Iya,” jawabku sekenanya.

Perempuan itu lalu jongkok di samping sebelah kananku, tanpa permisi lagi. Temannya masih berdiri.

“Par, aku ke sana dulu ya?” ujar perempuan yang satu lagi.
“Iya, gih,” jawab si Par.

Sementara itu aku tak melihat lagi Pak Is. Entah kapan dia ngungsinya. Tahu-tahu suaranya sudah ada di seberang jembatan.
 “Hati-hati kecebur, kawan...” katanya sambil cekikikan.

Tinggallah aku berduaan dengan perempuan asing itu di jembatan.

 Mungkinkah dia hantu? Soalnya aku sama sekali tidak tahu seluk-beluk suasana malam di pantai ini.

“Pancingnya mana, bang?” tanya perempuan itu.
“Mancingnya udahan. Aku dan bapak itu...” sambil aku menunjuk ke arah Pak Is di seberang jembatan, “lagi nunggu teman-temanku nambal ban motor...”
“Ooo, gitu...” ujarnya kelamas-kelemes.
“Kamu mau ke mana malem-malem gini?” tanyaku ingin tahu.
“Biasa, bang,” jawabnya enteng. “Tiap malem aku emang seperti ini...”
“Mm...” aku manggut-manggut. “Jangan-jangan kamu ini... perempuan yang di warung tadi siang itu ya?”
“Heu-euh,” dia mengangguk, lalu mengulurkan tangan kanannya. “Kenalan dong, bang. Namaku Parni.”
“Aku Alam,” jawabku sambil melepaskan genggaman jemarinya yang terasa lengket di telapak tangan.
“Kayak penyanyi,” dia tersenyum mendesis.

Sejenak hening. Tiupan angin laut menggerai-geraikan ujung rambutnya yang sebahu. Bulan yang redup menjadi saksi.

“Bang, kita ke sana yuk...” ujar Parni sambil menunjuk ke rumah kecil di tepi sungai.
“Di sini juga enak,” tolakku halus.
“Biasanya malem-malem gini gak banyak basa-basi lo, bang.”
“Aku ke sini cuma mau mancing kok.”
“Sekalian, bang, biar tambah enak.”
“Sebentar...” Aku menahan tarikan tangan Parni dan melepaskannya. “Ada bayarannya gak?”
“Nggak mahal kok, bang,” jawab Parni sambil membereskan rambutnya.
“Mm...” Aku berpikir keras. “Udah lama jadi ginian?”
“Maksud abang?”
“Yaa... jadi kupu-kupu... di malem gelap, gitu...”
“Kok nanyanya gitu sih, bang?”
“Jangan tersinggung dulu. Aku cuma pengen tau permainan kamu aja...”
Dia diam sesaat. Lalu katanya, “Sebenernya abang mau gak sih?”
“Mana ada laki-laki normal yang gak mau...” jawabku jujur.

Kembali dia diam. Pandangannya kosong ke arah sungai. Meskipun samar, dia cukup cantik. Aku heran, apakah dia sudah tidak laku lagi, sehingga harus menjadi kupu-kupu malam begini? Ada apa dengannya?

Tiba-tiba aku punya ide. Akan aku coba, mumpung Oga dan Bang Ama belum selesai nambal ban motornya.

“Sekarang aku mau menawar kamu, boleh?” tanyaku memancing.
“Iya, bang,” dia mengerjap sumringah.
“Bagiku perempuan itu adalah barang mahal. Aku akan menghargakan diri kamu dengan sesuatu yang sangat berharga yang aku punya.”
“Apa itu, bang?” tanyanya penasaran.
“Hati!” jelasku.
“Hati?” ulangnya.
“Ya. Selama ini mungkin laki-laki hanya menghargakan kamu dengan beberapa lembar uang. Tapi aku menghargakan diri kamu dengan hatiku.”

Dia menatapku. Tak ada kata dari bibirnya. Mudah-mudahan hatinya terbuka...

Aku ingin menawarkan cerita lain bagi kehidupan Parni. Sebab, hati siapapun tak akan membenarkan perempuan berkeliaran di malam hari, apalagi sambil menjajakan kehormatan dirinya. Aku bukan sok alim, sok suci dan sok tahu. Menurutku, tidak selamanya kupu-kupu malam harus bertemu dengan kumbang jalang berhidung belang. Dan, malam ini harus ada kunang-kunang yang berusaha menerangi jalan hidup Parni....

“Kamu cantik, Par,” sanjungku. “Aku yakin, masih banyak laki-laki yang mau menjadikanmu isteri.”
“Udah terlambat, bang,” ujarnya hampa. “Aku kecewa. Aku frustasi...”
“Kamu senang tiap malem begini? Sementara yang kamu tawarkan adalah mahkota yang sebenarnya gak boleh dijual.”

Tak ada jawaban. Wajahnya menunduk. Dia bangkit dari duduknya. Kali ini dia jaga jarak denganku. Rupanya dia masih punya rasa pengertian.

“Keputusan ada di tangan kamu, Par,” ujarku lagi mencecar sisi-baik yang ada dalam hatinya. “Jika malem ini kamu pulang, lalu berdoa dan tidur, niscaya Alloh akan memberi mimpi indah yang nyata.”
“Apakah aku masih mampu?” Dia meragukan dirinya. “Sementara aku harus menutupi kebutuhan hidupku dan anakku.”
“Niat yang mantap akan mengalahkan segalanya. Ingat, ada Alloh yang akan selalu membantumu.”
“Entahlah, bang, aku bingung...”
“Berusahalah... Mudah-mudahan kita ketemu lagi dalam suasana yang udah berbeda...”
“Iya, bang...”

Aku melihat ada air mata mengalir di pipinya. Hatikupun trenyuh merasakan beban hidup yang dialaminya. Sebelum berpisah, aku sempat mengepalkan beberapa uang lembaran di tangannya.

“Nggak usah, bang,” tolaknya.
“Terimalah...” aku sedikit memaksanya. “Anggaplah ini pemberian dari saudaramu yang ikhlas, bukan dari laki-laki yang ingin merendahkanmu...”

Lalu dia pergi. Semoga saja dia pulang dan tidur.

Dan setelah Oga dan Bang Ama selesai nambal ban motornya, kamipun segera pulang meninggalkan muara tambak yang senyap dan dingin itu.

Selamat tinggal, Par....!


>>> Baca lanjutannya : PARNI, PRIMADONA PANTAI UTARA <<<

( Memori mancing di Pantai Utara, 2006 )

**********

No comments:

Post a Comment

KETIKA CINTA BERCADAR: FOTO SLIDE SHOW

FOTO SLIDE BUKU "KETIKA CINTA BERCADAR" Ini adalah beberapa ulasan secara slide tentang buku KETIKA CINTA BERCADAR.