Wednesday, September 16, 2015

KETIKA CINTA BERPUISI


Inilah buku "KETIKA CINTA BERPUISI".
Ialah kumpulan cerpen yang ada di blogspot ini. Untuk ringkasannya, silahkan klik di : sabdaalqushwa.blogspot.com / BUKU "KETIKA CINTA BERPUISI" (SINOPSIS).

HARGA : RP. 110.000,-
Tebal : 181 halaman (24 warna + 157 hitam/putih)
Jangan lupa , beli ya....


KETIKA CINTA BERPUISI
(CERITA PENDEK FTV: FIKSI TEKS VISUAL)



“Ahh...”
Entah sudah berapa kali Alyando mendesah.
Bayangan gadis itu begitu lekat menguntit perasaannya.
Mungkinkah dia sedang jatuh cinta? Dia sendiri belum bisa mendeteksi secara detil perasaannya itu.



Tapi coretan-coretan di buku memorinya ini menggambarkan bahwa dia memang sedang terkenang dengan seseorang...

Sejak mata bertumbuk pandang 
saat itulah awal kita jumpa

Angin yang semilir...
Geresau daun yang meliuk...
Nyanyian burung yang mengusik...
Adalah ornamen-ornamen temu kita selanjutnya
......




Ya, itulah “coretan awal jumpa” dengan gadis bernama Jesika itu, murid pindahan baru di sekolahnya, yang sekaligus sebagai “awal ketertarikan”-nya pada gadis baru itu.
“Heh, suka ya sama Jesika?” sentak Riki membuyarkan keasyikan tatapan Alyando pada Jesika saat itu.
“Apa sih?” kilah Alyando.
“Gak usah ngelak. Dari sorot mata lu aja, gue bisa tahu...”
“Aah..., sota kamu ini...!”
“Emang iya lah... Tulis sono tuh dalam puisi-puisi lu...!”

Dalam hatinya, Alyando memang tidak bisa mengingkari apa yang sedang terjadi pada dirinya itu. Dan inilah buktinya...

Diam-diam
ada yang lepas dari dinding hatiku:
ada yang tercuri dari isi dadaku
......

Ê  

Bel pelajaran usai berbunyi.
Alyando mengawasi Jesika. Dia berharap bisa pulang bareng. Sementara Riki tak dipedulikannya. Tiba-tiba Heksel mendekati Jesika...
“Jes, bareng yuk?” suara  Heksel dari belakang.
“Mmm...” Jesika ragu.
“Udah lah, gak usah mikir panjang, hayuk!” tarik Heksel.
Jesika tak bisa mengelak lagi.
Alyando memandanginya dengan rasa kecewa dan kesal. Batinnya berbisik, kenapa gue  cemburu, ya?

Lalu, esoknya Alyando cari pendapat ke Riki..
“Gini, Rik...,” cerita Alyando. “Ada cewek, katanya cemburu lihat gue sama cewek lain.”
“Siapa cewek itu?” tanya Riki.
“Gak usah nanya siapa dia.”
“Oo... Itu namanya si cewek suka sama elu. Gitu aja gak paham sih...!”
“Ee... Gue kan minta pendapat lu. Siapa tau perut segede gentong ini isinya bukan cuma kolesterol doang...”
“Ini gentong ajaib, tau!” Riki sewot.
“Oke-oke...” Alyando kembali ke permasalahan. “Tapi kan cewek itu bukan pacar gue.”
“Ya bisa aja, orang cemburu itu gak mesti jadi pacar.”
“Trus, kalo dia nyatain cintanya sama gue, salah gak dia?”
“Ya gak salah. Bilang cinta itu kan hak semua orang. Tinggal masalahnya, elu mo terima apa gak?”
“Ya-ya-ya...” Alyando manggut-manggut.
“Eh, ngomong-ngomong, siapa sih cewek itu?” Riki masih penasaran.
“Emak lu!”
“Gue banting lu ah!”

Ê  

Sebenarnya, Alyando sendiri bisa meraba-raba perasaan apa yang sedang berkecamuk dalam dadanya itu. Hanya saja, untuk lebih meyakinkan lagi, apa salahnya minta pendapat teman, pikirnya.
Dan memang benar sih... Dia suka sama Jesika. Masalahnya sekarang: bagaimana menyatakan rasa suka itu? Kapan waktunya? Terlambat sedikit, bisa saja Jesika sudah disamber orang lain, terutama oleh Heksel yang juga menyukai Jesika.
Tiba-tiba muncul ide di benak Alyando...
“Lya...!” panggil Alyando.
“Gue?” yang dipanggil menunjuk dadanya.
“Ya elu... Emang ada berapa sih Lya di sekolah ini?”
“Banyak kalee...”
Lya segera mendatangi Alyando. Dia senang sekali. Kalau tidak teriak-teriak dan menjerit-jerit, itu namanya bukan Lya.







“Aduuh, iih, aah... Ada apa, cowok ganteng?”
“Belom lengkep, eeh, ooh...”
“Eeh, ooh... udah gak sabar nih, ganteng.”
“Santai  aja kali...”
“Bawaannya deket cowok ganteng itu, gimanaa..., gitu...”
“Gini...” Alyando mulai menjelaskan. “Kita kerjasama, mau gak?”
“Aduh, mo banget. Kerjasama apa tuh?”
“Tapi gak ada bayarannya.”
“Sama cowok ganteng mah, gratis juga gak apa-apa.”
“Oke, diil.”
Alyando menyodorkan tangannya, langsung disamber oleh Lya sambil  cengangas-cengenges wajahnya.
“Udah, jangan lama-lama jabatan tangannya.” Alyando menggerak-gerakkan tangannya supaya dilepaskan.
“Baru ngerasain sih...”
Dasar Lya..., cari-cari kesempatan melulu kalau ada maunya, bikin cerita jadi panjang...
“Gini,” ulang Alyando kembali ke permasalahan. “Kasihin kertas ini ke Jesika.”
“Cuma kertas gini? Udah itu doang?”
“Ya.”
“Gak pake amplop?”
“Gak usah lah.”
“Boleh dibaca?”
“Baca aja, bukan rahasia kok.”
“Kasihin sekarang?”
“Kalo tahun depan keburu kiamat.”
“Eh, jangan kiamat dulu, gue belom kawin!”
“Tenang aja... ada Riki.”
“We...! Gentong aer... itu mah...” cibirnya sambil meninggalkan Alyando.

Ê  
Alyando sudah tiga kali menitipkan secarik kertas kepada Lya untuk disampaikan kepada Jesika. Kertas-kertas tersebut berisi puisi-puisi...

Kertas pertama berisi puisi...
Sejak kau mampir di bening mataku
kau jadi bayangan di setiap langkah ku ayun
menggandeng asaku ke mana ku pergi

Kertas kedua berisi puisi...
Ku tak pernah mengundang cinta datang di hatiku
dia hadir sendiri tanpa ku sadari
bagai pencuri di malam gelap

Kertas ketiga berisi puisi...
Kalau boleh ku berkata jujur:
“ku tlah jatuh cinta padamu”
bila ku harus diam tanpa kata
kan ku simpan selalu gelora ini
dalam rasa

“Mana jawabannya?” tanya Alyando tak sabar.
“Mene ketehe...” jawab Lya sambil mengangkat pundaknya. “Mungkin dia gak ngerti, ato gak suka puisi...”

Alyando tidak banyak tanya lagi. Dia langsung lemas, merasa usahanya sia-sia. Tapi dia masih penasaran. Mungkinkah dia sendiri yang harus menyampaikan puisi-puisi itu kepada Jesika, sekali lagi? Ah, dia merasa ragu-ragu. Jangan-jangan memang Jesika itu tidak suka dengan puisi, dus tidak mau menerima isyarat-isyarat cinta yang dilontarkannya itu.
Beberapa hari Alyando nampak murung, kurang gairah. Dan dia menjaga jarak dengan Jesica. Ada rasa malu dalam hatinya, seolah-olah Jesika itu sudah tahu kartu hatinya yang kekanak-kanakkan itu.
Anehnya, Jesika nampak biasa-biasa saja, seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa. Ataukah dia menganggap puisi-puisi Alyando yang dititipkan lewat Lya itu sesuatu yang tidak penting dan tak ada sentuhan apa-apa dalam hatinya?

Ê  

Dalam kegalauannya, Alyando terdorong keinginan yang kuat menulis sebuah puisi lalu dipajang di papan pengumuman sekolah...

BERTEPUK SEBELAH TANGAN

Tak mengapa tak kau sambut sepuluh jemariku
mungkin masih ada halaman sepi lain
tuk bacakan puisiku ini

Setelah ku tahu
taklah mungkin kupaksakan diri:
menitipkan hatiku di sebelah jantungmu

Maafkan aku
yang telah jatuh cinta
padamu...



 

Alyando benar-benar nekad!
Sepontan heboh di sekolah. Nyaris semua murid membicarakan puisi yang tidak layak tempat itu. Pak Bandi, wali kelas 3B kelasnya Alyando, langsung mencopot selebaran puisi itu, dan memerintahkan kelas 3B masuk ke kelas.
“Adakah di antara kalian yang membuat puisi ini?” tanya Pak Bandi sambil menatap tajam.
“Tidak tahu, pak.” Semua murid-murid menggelengkan kepala, kecuali Alyando yang menunduk.
“Biasanya kan yang jago bikin puisi... Alyando, pak,” ujar salah seorang murid.
Semua menatap ke arah Alyando.
“Tanpa berniat menuduh kamu,” tanya Pak Bandi, “Apakah puisi ini bikinan kamu, Alyando?”
“Iya, pak,” jawab Alyando jujur.
“Maju kamu ke depan!”
Alyando bangkit menuju depan kelas.
“Apa tujuan kamu membuat puisi ini dan memajangnya di papan pengumuman sekolah?” tanya Pak Bandi menggelegar.
“Supaya dibaca orang-orang, pak,” jawab Alyando enteng.
“Kamu tahu? Papan pengumuman itu bukan majalah dinding!”
“Ya, pak.”
“Baiklah, untuk kali ini kamu dimaafkan. Tapi, ini peringatan keras buat kamu.”
“Baik, pak, terima kasih.”

Kemudian kelas dibubarkan.
Saatnya istirahat. Anak-anak banyak yang membicarakan kasus Alyando tadi. Tiba-tiba suara Pak Bandi...
“Alyando! Sini kamu...!” panggil Pak Bandi.
“Ya, pak.” Alyando menghampiri.
“Tolong buku-buku ini berikan kepada Bu Rini di ruang kantor.”
“Siap, pak.”
Ketika  Alyando hendak masuk ruang kantor, dia bertabrakan dengan seorang guru yang hendak keluar. Buku-buku yang dibawanya berjatuhan.  Dia ambil satu persatu buku-buku itu dibantu oleh guru yang menabraknya itu.
Dan... Ada secarik kertas yang jatuh bersama buku-buku itu. Alyando membacanya sambil senyum-senyum.
Setelah buku-buku diterima oleh Bu Rini, Alyando kembali menemui Pak Bandi yang masih menulis di ruang kelas.
“Sudah kamu berikan?” tanya Pak Bandi.
“Sudah, pak,” jawab Alyando.
“Ada apalagi?” Pak Bandi menatap Alyando.
“Ternyata nasib kita sama ya, pak. Sama-sama ‘bertepuk sebelah tangan’...” ujar Alyando menyindir sambil senyum-senyum.
Sesaat Pak Bandi terkejut.
Waduh, jangan-jangan Alyando membaca puisi yang diselipkan di salah satu buku-buku tadi itu, bisik hati Pak Bandi.
Iya sih, Al, kita sama-sama ‘bertepuk sebelah tangan’. Ga tau tuh, Bu Rini belum juga mau menerima uluran tanganku yang penuh cinta ini...
 Malu juga Pak Bandi rahasianya itu ketahuan. Dan lebih malunya lagi, puisi yang akan diberikan kepada Bu Rini itu ialah puisi buatan Alyando yang dipermasalahkan itu. Rupanya dia sudah mengutipnya.Tapi dia berusaha tenang sebagai seorang guru.
“Itu sih nasib kamu aja. Sudah sana, jangan mengganggu bapak...”
“Baik, pak.”

Ê  

Dalam perjalanan pulang, Jesika mendekati Alyando, tak dihiraukannya ajakan pulang bareng Heksel.
“Hei, Alyando...”
Alyando menoleh ke kanan. Dia terkesima Jesika sudah ada di sampingnya. Sungguh di luar dugaan. Dia sejajarkan langkahnya.
“Gue ikut perihatin atas kejadian yang menimpa kamu tadi,” ujar Jesika pelan.
“Terima kasih, Jes,” sahut Alyando. “Gak apa-apa, biasa aja...”
“Kalo boleh tau, tertuju ke siapa sih puisi tadi itu?” tanya Jesika takut-takut.
“Seseorang...”
Rasanya udah gak ada artinya lagi kalo gue jawab jujur, Jes, bisik Alyando dalam hati.
“Apa... ada hubungannya sama... Lya?”
“Maksud kamu?”
“Beberapa minggu yang lalu Lya cerita, katanya dia dapet kiriman puisi-puisi dari seseorang. Gue sendiri sempat membacanya. Bagus-bagus sih puisinya... ”
Alyando tersentak. Hatinya menggerutu...
Berarti Lya nggak ngasih puisi-puisi gue itu ke Jesika. Dasar gambreng...!
“Kenapa, Al?” tanya Jesika melihat perubahan wajah Alyando.
“Nggak... Ada yang lucu aja.” Alyando menutupi rasa mangkelnya terhadap Lya.

Setibanya di rumah, Alyando tidak berlama-lama lagi, langsung tancap gas menuju rumah Lya.
“Pantesnya diapain  nenek gambreng itu ya...,” gumamnya sepanjang jalan.
“Lu gak jujur sama temen!” semprot Alyando setelah bertemu Lya. “Kenapa lu gak sampein titipan gue ke Jesika ituuu...?”
“Tau dari mana lu?”
“Jesika sendiri tadi bilang.”
“Abisnya..., gue sendiri seneng sama puisi-puisi itu. Gue ngebayangin..., andainya aja... gue yang dikasih puisi-puisi itu...”
“Kita ini temenan, dan sampe kapanpun tetep temenan!”
“Ya ya, gue ngerti. Maafin gue, Al. Gue ngaku salah. Ntar gue jelasin sama Jesika, dan gue bakal bantuin lu. Suer...”
“Ya udah, gue pulang...”

Ê  

Ternyata, ada hikmah yang lebih besar di balik heboh puisi “Bertepuk Sebelah Tangan” itu. Sesuatu yang selama ini tertutupi, jadi terbuka.
Alyando dan Jesika baikan lagi...
Kini puisi-puisi Alyando menemukan jalan mulus menuju Jesika, meskipun belum ada kata sepakat dalam cinta.
“Nih, satu lagi...” Alyando menyodorkan puisi yang baru sepulang sekolah.
“Mana-mana?” Jesika menerimanya dengan senang hati, dan langsung membacanya...

Sebenarnya
sebelah hatiku telah jatuh
di depanmu
Ku pendam selalu
rasa ini
Ah, bisakah kau rasakan
apa yang sedang ku rasakan ini?

“Gombal...” komen Jesika sambil ketawa-ketawa.
“Serius...” timpal Alyando
“Ah, tukang bikin puisi mah bisa aja ngotak-atik kata-kata.”
“Tapi apa yang gue tulis itu... lahir dari rasa yaaaang... terdalam.”
“Pret, ah...!”
Mereka sama-sama gembira...

Ê  

Hari ini ada razia isi tas di kelas masing-masing. Sasarannya ialah narkoba, hape, buku porno, gegaman/senjata, dan barang-barang lain yang tidak ada kepentingannnya dengan urusan sekolah.
Semua kelas dikosongkan. Hanya tim razia yang boleh masuk.
Giliran tas Alyando. Tidak ada barang-barang terlarang, kecuali sebuah buku...
Kemudian Alyando dipanggil ke kantor. Di sana dia diinterogasi oleh seorang guru.
“Untuk apa buku ini di bawa ke sekolah?” tanya guru interogator sambil memperlihatkan buku yang berjudul KATAKAN CINTA DENGAN PUISI itu.
“Yaa... untuk bacaan santai aja, pak,” jawab Alyando tenang.
“Apakah buku ini bisa membantu pelajaran sekolah?”
“Dalam pelajaran Bahasa Indonesia kan ada belajar membuat puisi, pak.”
“Tapi buku ini isinya puisi cinta melulu!”
“Huuuhhh....!!!” seru anak-anak di luar yang menyaksikan lewat kaca.
Alyando terdiam. Terserah mau diberikan hukuman apapun, dia pasrah.
“Baiklah,” lanjut guru interogator, “Buku ini ditahan dulu. Kamu bisa mengambilnya setelah ada izin dari wali kelasmu.”
“Ya, pak.”
“Silahkan keluar.”

Alyando berjalan keluar. Di ambang pintu keluar dia melihat Jesika menghindar. Ada rasa malu di hatinya. Beberapa hari ini, dia sudah membuat dua kali kasus yang mungkin memalukan. Dibiarkannya Jesika pergi.
Dan... Pada saat pulang, wajah Jesika terlihat masam dan cuek. Alyando makin malu dan merasa bersalah. Dia beranikan diri mendekati gadis itu.
“Jes...” suara Alyando gamang.
Jesika hanya menoleh, tanpa kata, membisu.
“Jes...” ulang Alyando. “Kalo kamu malu berteman sama gue lagi, yang udah dua kali bikin masalah di sekolah, gue terima. Tapi, kamu masih mau kan baca puisi-puisi gue?”
“Buat apa baca puisi saduran dari buku orang laen, ” sahut Jesika ketus. “Kalo mau, gue beli aja sendiri bukunya. Gue kira puisi-puisi itu karya kamu sendiri.”
“Ya emang karya gue, Jes.”
“Karya menjiplak, gitu?”
“Itu emang buku gue, Jes.”
”Iya, dapet beli, kan?”
“Maksud gue...”
“Udah lah, gue duluan!”
“Jes...!”
Jesika tak menghiraukan Alyando.

Ê  

Esoknya di kantin sekolah, Alyando termenung sendirian, hanya ditemani segelas minuman di hadapannya. Pikirannya sedang mencari cara agar bisa baikan lagi dengan Jesika. Dan tiba-tiba...
“Hei! Bengong aja...!”
“Dasar gambreng lu...”
“Kenapa?”
“Gue lagi cari ide nih.”
“Ide buat bikin puisi? Kan tinggal nyadur aja...”
“Sok tau lu.”
“Kemaren sore gue dapet telpon dari Jesika, katanya puisi-puisi lu itu saduran dari buku KATAKAN CINTA DENGAN PUISI yang ditahan pihak sekolah ituuu...”
“Itu salah paham. Justeru itu yang pengen gue jelasin ke Jesika. Oke... Sekarang lu dulu dengerin nih...”
Lya memasang telinganya, diiringi kebiasaan mulutnya yang menganga. Untung saja tidak ada lalat yang berseliweran di sekitarnya.
“Gini...” lanjut Alyando. “Buku KATAKAN CINTA DENGAN PUISI itu adalah karangan gue...”
“Aah... Tapi di situ tertulis pengarangnya ialah Sabda Al-Qushwa.”
“Itu nama bokap gue.”
“Bukan Ibnu Husna nama bokap lu?”
“Lengkepnya Sabda Ibnu Husna Al-Qushwa.”
“Baru tau gue...” Lya garuk-garuk kepala. “Kenapa gak pake nama lu sendiri aja?”
“Gue pengen menghormati bokap gue.” Lanjut Alyando, “Nah, buku itu baru gue cetak dua buah sebagai contoh aja buat promosi. Sekarang gue lagi nyari donatur ato orang yang mau bekerjasama untuk menerbitkannya.”
“Oo... gitu, ya. Hebat lu...”

Ê  

          Sore harinya Lya menemui Jesika di rumahnya...
Kemudian Lya menceritakan obrolannya dengan Alyando itu kepada Jesika. Antara percaya dan tidak, Jesika mendengarkannya manggut-manggut.
“Sekarang terserah lu...” Lya tak mau tahu. “Lu mo percaya atawa gak...”
“Sementara ini gue percaya aja deh...,” sahut Jesika sumringah.
“Berarti, masalah lu sama Alyando udah clear  ya?”
“Beres...”
“Dil.”
Mereka bertepukan tangan sambul diiringi ketawa renyah...

Ê  

Di taman sekolah...
“Maafin gue ya, Al,” ucap Jesika diiringi senyum manisnya.
“Gak apa-apa,” jawab Alyando bahagia sekali. “Eh, ini satu buat kamu...”
Jesika senang sekali menerima buku KATAKAN CINTA DENGAN PUISI itu. Bolak-balik dipandanginya. Senyumannya tambah manis.
“Coba, puisi mana yang paling kamu sukai?” tanya Alyando menggoda.
“Halaman 72,” jawab Jesika pasti.
“Itu kan ‘bertepuk sebelah tangan’...”
“Ya, emang ‘bertepuk sebelah tangan’ kamu, kan?”
“Siapa bilang?” goda Alyando.
“Emangnya, siapa yang nerima kamu?” Jesika buang muka.
“Mo tau nih?”
“Nggak.”
“Bener?”
“Bener.”
Romantika mereka terputus, saat bel masuk terdengar kembali. Mereka segera menuju kelas untuk melanjutkan pelajaran hingga selesai.

Ê  

Hari ini Jesika benar-benar bahagia sekali. Dipandanginya buku pemberian Alyando itu berulang-ulang. Sesekali didekapnya ke dadanya yang berbunga-bunga.
“KATAKAN CINTA DENGAN PUISI...,” gumamnya sambil mengusap-usap buku kumpulan puisi-puisi cinta itu.
“O iya...,” tiba-tiba Jesika ingat sesuatu. “Tadi aku diminta Alyando untuk membaca halaman
47.”
Dan inilah isinya...


KU PINANG KAU
Ku pinang kau
dengan untaian puisi
yang kan melekat
dalam dinding hatimu

Ku tunggu kau
di pantai sepi kesendirian
di bawah mendung bermuatan halilintar
di tengah gemuruh ombak yang mencekam
:
bersama pinanganku yang tak lebur oleh waktu...


Jesika membaca puisi itu bolak-balik, dan meresapinya kata per kata. Hatinya makin berbunga-bunga...
“Ini sama aja Alyando nembak hati gue...,” gumamnya senyum-senyum sendirian.  
Bukunya lalu ditutup, didekapnya erat-erat di dadanya, hingga ia terlelap dibuai mimpi...


****s@b211014


>>>> Jangan lupa, beli ya buku KETIKA CINTA BERPUISI...!
             






KETIKA CINTA BERCADAR: FOTO SLIDE SHOW

FOTO SLIDE BUKU "KETIKA CINTA BERCADAR" Ini adalah beberapa ulasan secara slide tentang buku KETIKA CINTA BERCADAR.