BAGAI MIMPI
YANG BERLALU
DI ALASROBAN
Memandangmu...
Ah,
memandangmu
membuat
aku teringat masa lalu,
meskipun
kata orang
“yang
lalu biarlah berlalu”
.....
Bagiku taklah semudah
membalikkan telapak tangan untuk melupakan sesuatu yang pernah masuk ke relung
hati yang terdalam.
Ini adalah cerita hidup,
cerita yang tak kan pernah mati selama masih ada hidup. Tanpa cerita, manusia
tak punya makna dan pelajaran.
Nyaris sepuluh tahun
lebih, Ar, kita baru ketemu lagi. Wajahmu
tak banyak berubah, masih nampak lembut, sendu dan menggetarkan.
Di pertokoan itu, kita hanya
saling pandang. Tak ada kata yang terucap di antara kita. Hanya senyum yang
terulas. Itupun terasa hambar dan gamang.
Rasanya penyesalan dan
penasaran
yang sudah mengendap di dasar hati, kembali mencuat.
Kenapa dulu aku begitu bodoh?
Kenapa tidak mau berterus-terang kalau aku mencintaimu. Padahal peluang begitu
banyak untuk mengungkapkannya. Aku malah sibuk berputar-putar dalam bait-bait
puisi, yang akhirnya hanya membeku dalam lembaran-lembaran kertas yang bisu.
Hingga pertemuan kita kali ini, engkau tak pernah tahu tentang semua tumpahan
isi hatiku itu.
Sungguh...
Aku
tak menyangka
kalau
aku terbelenggu oleh rasa suka padamu
Bahkan
kian lama, kian marak rasa suka itu di
pelataran hatiku
Hampir
tiap detik dirimu kubayangi
Sementara
aku tak tahu, rasa apa yang ada dalam sukmamu
Ah,
apakah aku saja yang mabuk...?
Masih banyak lagi
letupan-letupan perasaanku yang tersimpan dalam ‘catatan monumental’-ku. Dan
semua itu, kini tak berarti lagi buat kau ketahui. Apalagi, saat ini kau
semakin jauh untuk bisa kugapai. Biarlah, catatan itu menjadi saksi ketololanku
waktu itu.
Namun, Ar, ada yang paling berkesan dalam hatiku. Yakni ketika kau minta diantar ke
Solo, yang membuat aku bisa berdekatan denganmu.
“Apa gak ada orang lain yang
bisa nganter kamu?” tanyaku waktu itu.
“Gak ada,” jawabmu
menggelengkan kepala.
“Kakakmu atau adikmu itu?”
“Kakakku sibuk kerja, adikku
harus sekolah.”
“Orang tua kamu tahu kalo aku
yang nganter kamu?”
“Udah kok.”
“Apa gak takut anak gadisnya
kenapa-kenapa di jalan?”
“Mereka percaya sama kamu
kok.”
Maka, dimulailah perjalanan yang
penuh kenangan itu...
Jam tujuh malam, kita sudah
berada di terminal Pulo Gadung. Kurang-lebih satu jam menunggu penumpang penuh,
lalu buspun bergerak menembus kegelapan malam menuju ke arah timur Pulau Jawa.
Banyak cerita yang kita ungkap
dalam perjalanan selama kurang-lebih dua belas jam itu. Dan, akhirnya sampai
pada soal... cinta.
“Siapa pacarmu, Bi?” tanyamu malu-malu.
“Gak punya,” jawabku jujur.
Kamu mendesis.
Aku hanya senyum-senyum.
“Ada yang suka sama kamu, Bi,”
ujarmu kemudian. “Tapi dia masih malu-malu...”
“Siapa dia?” tanyaku.
Kamu malah senyum-senyum,
tidak menjawabnya.
Lalu aku coba mencari ide...
“Juga ada yang naksir kamu,
Ar,” kataku. “Dia orang baru...”
“Siapa?” kamu terpancing.
Aku balas tak menjelaskannya.
Hening sesaat...
Malam kian terasa dingin.
Banyak penumpang yang sudah tidur.
Sementara pembicaraan tentang
“orang malu-malu” dan “orang baru” tak berkelanjutan lagi, hingga
akhirnya tak terkuak sama sekali siapa sebenarnya. Keduanya jadi misteri hati
yang terpendam hingga hari ini.
Sebenarnya, Ar, “orang baru” yang aku maksud itu adalah... aku! Nah, apakah “orang yang masih malu-malu” yang kau maksud itu adalah... dirimu?
Ah,
bahasa samar
itu membuatku terdampar dalam tanya
panjang hatiku
Kiranya
terlalu gegabah bila langsung kutangkap: “Adalah
kau!”
Lebih
baik kutunggu hingga gerbang rumahmu terbuka
Entah
sampai kapan...?
Dan...
Dalam perjalanan pulang yang
sendirian tanpa kamu itu, aku dilanda gundah yang luar biasa. Aku merasa
kehilangan dirimu. Sampai akhirnya aku tertidur dari Semarang sampai Cirebon.
Kubiarkan
mimpi berlalu di Alasroban
Bercerita
bersama ranting-ranting di ubun malam
Kutangkap
kelambu fajar di kota udang
saat
mata langit melirik sendu
Dep!
Ada
jerit menabrak gereba senyap batinku
Padi-padian
jadi saksi utuh
Aku
kangen kamu, Ar...
***
Itulah masa lalu kita, Ar...
Semua itu masih ada mengendap,
meski terpendam jauh dalam lubuk hatiku.
Dan kini, kau sudah
menggendong seorang anak kecil. Itu berarti, kau sudah tak sendiri lagi.
Sementara, aku memang masih menyimpan rasa ingin memilikimu. Kamu lebih
istimewa dalam sanubariku di antara gadis-gadis yang pernah menyentuh hatiku.
Namun, semua itu hanya
keinginan belaka. Walau cinta bisa “selingkuh”,
itu tak kan mungkin pernah terjadi di antara kita. Sebab kita adalah
orang-orang yang beragama, yang harus
menjunjung tinggi nilai kesucian dan akhlak mulia.
Memang terasa sulit, Ar, untuk melupakanmu sepenuhnya. Apalagi bila aku
menempuh perjalanan ke arah timur Pulau Jawa, kembali membayang kenangan
perjalanan masa lalu kita itu...
Setiap
jalan yang pernah kita tapaki
membingkai rasa ingat dalam kisi-kisi senyap
jiwaku
menyapaku dalam perjalanan-ulang
membawaku ke hari-hari bercecer kenangan
Serasa
kau berada di sisiku dalam wujud nyata
Biarlah
cinta hanya menggema dalam rasa
karena
cinta tak harus saling memiliki
walaupun
ini adalah takdir yang getir...
“Semoga kau selalu bahagia
bersama keluargamu, Ar,” doaku penuh
harap.
Kau pun sudah menghilang dari
pandanganku di antara orang-orang yang hilir-mudik di pertokoan itu. Sementara
aku tak tahu di mana kau tinggal bersama keluargamu hingga saat ini. Rasanya
itu tak perlu aku tahu
Akhirnya memang, Ar... yang lalu biarlah berlalu, bagai mimpi yang
berlalu di alasroban... Biarlah jadi kenangan semata hingga akhir hayat...
**********
No comments:
Post a Comment