PARNI,
PRIMADONA PANTAI UTARA
“Haduuhhh...”
keluhku kecapean, teman-teman yang lain juga sama.
Hari itu panas cukup
menyengat. Langit sangat cerah. Tak ada gumpalan awan berseliweran. Musim
kemarau mulai datang.
Kami masih berempat orang
dalam tim memancing ini. Hanya saja posisi Pak Is dan Bang Ama digantikan oleh
Bang Zen dan Iwan.
Kami –aku, Bang Zen,
Oga dan
Iwan—segera
menghempaskan perlengkapan mancing begitu sampai di balai bambu di rumah Pak Ranin, wakil penduduk di muara tambak ini.
“Gimana kabarnya, pak wakil?”
tanyaku setelah mengucapkan salam.
“Biasa aja, baik,” jawab pak
Ranin ramah. “Baru mancing lagi nih?”
“Ya maunya sih setiap, pak,”
selorohku.
“Soalnya ada yang diintip,
pak,” kelakar Oga.
“Ikan yang mana?” kilahku.
“Ikan yang katanya berambut
pirang itu ya?” Bang Zen nimbrung.
“Kayak udah tau aja ah...”
tepisku sedikit malu.
“Wajar aja, laki-laki kok...”
Pak Ranin menetralisir suasana.
Setelah bosan bercanda-canda,
pemanasan memancing dimulai di atas jembatan. Nanti setelah zuhur baru pindah
ke ujung muara sungai di tepi pantai.
Bang Zen, Oga dan Iwan sudah
mengambil posisi masing-masing. Sementara aku masih ada obrolan sama Pak Ranin.
“Al, ente masih inget gak sama
Parni?” tanya Pak Ranin.
“Parni? Ya masih inget lah,
pak,” jawabku sedikit berdebar.
“Beberapa hari ini, dia sering
nanyain ente kalo lewat sini.”
“O gitu ya, pak. Cuma
basa-basi aja kali, pak...”
“Nggak tau juga sih...”
Parni...
Sebulan yang lalu kita sempat bertemu di sini. Ku pikir, kamu sudah lupa sama
aku. Sebab, wanita ‘gituan’ kan menganggap laki-laki hanya sebatas angin
lewat. Yang penting duitnya nyangkut. Bukan cinta murni yang dicari, tapi nafsu
birahi yang dilambari keinginan untuk mendapatkan uang. Lalu, ada apa denganmu
saat ini, Par?
“Al, kedatangan ente hari ini
tepat sekali,” ujar Pak Ranin.
“Apanya, pak?” aku tersadar
dari lamunan sesaat.
“Sebelomnya, tadi malem ente
mimpi apa?”
“Melihat presiden didampingi
sama menterinya.”
“Tepat bener, Al...”
Aku masih belum mengerti.
Pak Ranin malah menyalakan
sebatang rokok. Dihisapnya dalam-dalam. Asap mengandung nikotin berhamburan
dari hidungnya diiringi batuk-batuk kecilnya.
“Mau tahu, Al?”
Aku mengangguk penasaran.
“Ini hari, Parni lagi
melangsungkan pernikahannya...”
“Alhamdulillah...”
Pyar... Hatiku sangat lega.
Aku sangat bersyukur kepada Alloh. Semoga, Parni tak pernah lagi menjadi kupu-kupu di malam hari. Apapun alasannya, perempuan tak bisa
dibenarkan mencari nafkah seperti itu. Sebab, masih banyak lahan pekerjaan lain
yang bisa dilakukannya. Dan, kalau kita mau saling peduli, aku rasa
masalah-masalah seperti itu tidak akan pernah ada.
“Al, aku udah dapet banyak
nih...!” seru Iwan dari jembatan.
“Yaa... lanjut aja terus...”
jawabku santai.
Aku lebih tertarik dengan
cerita Pak Ranin tentang Parni dulu...
Bahwa, Parni dulunya
adalah “primadona” di pantai ini. Banyak
anak muda yang tertarik padanya. Malah anak Pak Ranin sendiri sempat suka
padanya. Tapi akhirnya Parni disunting oleh anak bos pelelangan, namanya Seto. Sayangnya,
Seto adalah anak muda yang suka mabok-mabokan dan judi. Dan ketika Parni sedang
hamil, Seto menceraikannya dengan alasan “sudah tidak enak lagi dipakainya”.
Orang tua Parni tidak bisa berbuat banyak.
Selanjutnya, Parni mengalami
beberapa kali kawin-cerai. Mungkin karena sudah tidak percaya lagi dengan
laki-laki, dia lalu berhubungan dengan laki-laki hanya sebatas untuk
mendapatkan uang saja. Akhirnya dia sering keluyuran malam hari...
“Kasihan Parni...” komentarku
sedih.
“Gimana kalo nanti sore kita
datang ke pernikahannya Parni?” ajak Pak Ranin.
“Boleh, pak,” jawabku
antusias.
Sore itu... benar-benar menjadi lautan kebahagiaan...
Saat aku melihat Parni dengan
gaun pengantinya yang sederhana itu, dia memang cantik. Dia berlari memburu ke
arahku. Saat hendak memelukku, aku menahannya demi menjaga perasaan suaminya
yang ada di belakangnya. Dia menggenggam erat tanganku dan menempelkannya ke
dahinya. Hingga terasa air matanya memabasahi tanganku.
“Terima
kasih banyak, bang...” berkali-kali Parni mengucapkan itu.
“Semoga Alloh membibimbing dan
memberkahi kamu dan keluargamu...” ujarku sambil memandangnya penuh rasa
senang. Lalu aku berpesan kepada suami barunya itu, “Jaga Parni baik-baik ya,
bang. Semoga keluarga kalian selalu rukun dan bahagia...”
“Aamiin...” angguknya sambil
tersenyum.
Tak lama aku dan Pak Ranin
mohon pamit.
Parni melambaikan tangannya sambil menitikkan air mata.
Aku memandanginya penuh rasa haru. Beberapa butir air
bening sempat jatuh pula dari mataku. Rasanya aku akan selalu teringat dengan
peristiwa ini...
>>> Cerita ini adalah lanjutan dari: KU PANCING IKAN SUMBILANG, YANG DATANG KUPU-KUPU BERAMBUT PIRANG - Tamat <<<
(Memori
mancing kedua di Pantai Utara, 2006)
No comments:
Post a Comment