JANJI
CINTA
Bidadari Surga-nya
milik
Ustadz Jefri Al-Bukhori
berbunyi
di hape-ku.
Kulihat
siapa yang calling.
Nomer
baru. Siapa ya?
Ragu-ragu
aku oke...
“Salam ‘alaikum...”
suara perempuan.
“Wa ‘alaikum salam...”
jawabku.
“Ini kak Ram, kan?”
“Euu... Ini siapa dulu?”
“Bilang dong, ini kak Ram,
kan?”
“Iya-iya...”
“Alhamdulillah... Kok
lama banget sih ngangkatnya? Lupa yaaa...?”
“Iya... Tapi, maaf, ini
siapa?”
“Kita pernah ketemu satu kali,
tapi aku masih ingat suara kakak...”
“Aduh... Aku gak ingat
lagi...”
“Betul?”
“Iya, betul.”
“Oke... Aku adalah Aminah Natalia dari Manadooo...”
“Mm... Seingatku... gak punya
tuh kenalan dari sana, Manado.”
“Mungkin betul. Tapi, kalo Gethli Natalia...?”
“Kamu Gethli Natalia?”
“Iya. Itu nama lamaku.”
“Kok ganti nama sih?”
“Ceritanya nanti aja deh, kak.
Sekarang aku ada di Bandara Soekarno-Hatta. Jemput aku ya...”
“Oke-oke...”
Setibanya di bandara, aku
sempat kesulitan mencari gadis kelahiran Tinoor itu. Sebangku duduk dan barisan orang-orang yang
berdiri kuperhatikan dengan jeli. Dan tiba-tida dari arah lain...
“Kak Ram!”
Uph! Aku membalikan badan. Aku
tertegun memperhatikannya. Kerudung krim berpadu dengan busana takwa yang
cerah, mungkinkah itu dia...?
“Ini aku...!” seru Gethli
sambil melambaikan tangannya dan berlari kecil ke arahku.
“Gethli...” Aku serasa mimpi
dan terpaku memandanginya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Pangling aja...” jawabku.
“Aku pikir, kita gak ketemu lagi...”
“Lima tahun yang lalu, kak Ram
pernah bilang begitu. Padahal kalo Alloh menghendaki, segalanya bisa terjadi.
Iya, kan?”
“Betul itu, dan buktinya
sekarang ya...”
Aku dan Gethli menuju kantin.
Sambil menikmati makanan dan minuman ringan, aku tuangkan rasa penasaranku...
“Ngomong-ngomong, ada apa
dengan namamu ganti, ditambah lagi bicara kamu ada unsur-unsur Islamnya ya?”
tanyaku santai.
“Lho, masa kakak gak merasa
sih, kalo aku sekarang udah menjadi muslim?” jawabnya sambil memandang wajahku.
“Ya kan kamunya belum ngasih
tahu. Rasanya kurang etis kalo aku nanya tentang agama kamu. Nanti aku malah
dianggap mau ngajak kamu pindah agama. Sedangkan dalam ayat Al-Quran nggak
boleh memaksa orang untuk masuk agama Islam.”
“Kalo sekarang aku ganti nama
dan bicara pake unsur-unsur Islam, ya itu karena aku sekarang udah masuk
Islam...”
“Lantas, dari mana kamu
mengawalinya hingga kamu masuk Islam? Bisa cerita sedikit, kan...?”
“Awalnya sih, aku sering
membaca Al-Kitab dan menyimak ceramah-ceramah pendeta di gereja. Lalu aku
sering membanding-bandingkannya dengan isi Al-Quran terjemahan yang aku pinjam
dari seorang teman muslim. Pertama aku memegang Al-Quran, tanganku gemetar. Aku pernah dengar ceramah seorang ustadz,
bahwa Al-Quran itu adalah sebuah Kitab yang ajaib...”
“Memang benar itu. Baca dalam
surat Al-Jin ayat 1. Ya, terusin ceritanya...”
“Jadi panjang nih...”
“Ya gak apa-apa...”
“Nah, ingat dengan kata ‘ajaib’
itu, aku jadi penasaran. Satu per satu aku luangkan waktu untuk membaca
ayat-ayat Al-Quran dari Al-Quran terjemahan itu. Semakin lama aku seperti
mendapatkan pencerahan dalam pikiran dan hatiku, yang selama ini belum pernah
aku dapatkan dari Al-Kitab ataupun dari ceramah-ceramah pendeta di gereja.
Setelah menemukan bahwa Islam agama yang terbaik di sisi Alloh, lalu aku
bulatkan hati untuk masuk Islam aja...”
“Mm... Selain itu, ada gak orang lain yang
memotivasi kamu untuk masuk Islam.”
“Gak ada. Ini kemauan aku sendiri...”
“Luar biasa! Kamu emang
cerdas. Dari surat yang kamu kirim dulu itu aja, aku udah merasa Gethli ini
orangnya kritis.”
“Kakak bisa aja. Emang masih
ada suratnya, kak?”
“Ada lah. Nih aku simpan dalam
foto hape...”
Gethli senyum-senyum memandang
tulisan tangannya yang dikirimkan padaku tahun 1993. Kemudian dia mengcopynya
ke memori hapenya.
“Eh, tujuan kamu selanjutnya
ini mau ke mana?” tanyaku mengingatkan.
“Ke Bogor,” jawabnya. “Ke
rumah paman. Dia udah lebih dulu masuk Islamnya. Sekarang dia punya pondok
pengajian. Sambil belajar mengaji, aku juga mau cari kerjaan juga. Dan... satu lagi, ada yang
gak kalah pentingnya juga, aku mau menagih hutang ke kak Ram...”
“Hutang?” aku merasa aneh.
“Emangnya aku punya hutang sama kamu?”
“Yah.”
“Hutang yang mana?”
“Hutang...
janji...”
“Hutang janji? Janji apa
ya...?”
“Lima tahun lalu, sewaktu
kakak nyimpang ke Manado setelah dari Ambon, kakak pernah bilang...”
“Ya ya ya... aku ingat! Bahwa
aku akan menikahi
kamu, kalo kamu masuk Islam. Tapi kan, waktu itu kamu bilang aku cuma
becanda...”
“Aku kan waktu itu masih
Katholik, kak. Nggak mungkin lah aku setuju. Kakak bilang orang Islam itu haram
menikah dengan non-muslim...”
“Kamu serius?” aku menatapnya.
“Yah,” dia mengangguk.
“Kapan aku harus bayar hutang janji
itu?”
“Sekarang.”
“Gak ada tempo lagi?”
“Gak ada.”
“Baiklah...”
Taksi president biru langit
segera meluncur menuju Bogor, ke rumah pamannya Aminah Natalia, untuk meminta
bantuan prosesi pernikahan, demi merealisasikan janji: Janji cinta...!
**********
No comments:
Post a Comment