6
November, ayah dan adik Nur Bibi syahid akibat terkena oleh serangan
bom dari pesawat helikopter milik penjajah Soviet yang menjadikan rezim Babrak Kamal sebagai
kaki-tangannya di Afghanistan.
Sejak saat itu, Nur Bibi
bertekad untuk berjuang di barisan mujahidin demi membebaskan negerinya dari
cengkraman para penjajah itu.
Awalnya Nur Bibi memasuki
front perjuangan sebagai pembawa makanan dan air minum untuk kebutuhan para
mujahidin. Ia terlihat mondar-mandir di medan pertempuran dengan berani.
Di suatu malam di Azakai, masih di bulan November, 100 tentara
musuh mengepung para mujahidin yang berjumlah 30 orang. Pertempuran berlangsung
sengit selama 24 jam. 3 orang mujahidin menemui syahidnya, sisa mengalami
luka-luka. Di pihak musuhpun benyak yang menjadi korban.
Saat itu, Nur Bibi tidak bisa
memberikan bantuan makanan dan minuman kepada para mujahidin, karena kepungan
musuh begitu ketat.
Sore harinya, Nur Bibi menuju
front pertempuran di Ferozai,
beberapa kilometer dari Azakai. Namun para mujahidin sudah menghindar ke tempat
lain. Di situ hanya ada seorang lelaki tua yang mengawasi medan pertempuran
yang sudah sepi itu.
“Assalamu ‘alaikum...” sapa
Nur.
“Wa ‘alaikum salam...” jawab
lelaki tua.
“Ke mana para pejuang itu, pak
tua?”
“Mereka sedang memukul-mundur
musuh!”
Nur Bibir melirik ke arah
senjata yang sedang siaga di tangan pak tua itu. Dia berusaha merayu-rayu pak
tua itu agar mau memberikan senjatanya.
“Mohonlah, pak, berikan
senjata itu kepadaku. Aku ingin berjihad bersama mereka mengusir musuh....”
“Apakah kamu mampu membawa
senjata ini?”
“Insya Alloh dengan
izin-Nya....”
Pak tua itu lalu menyerahkan
senjatanya kepada Nur Bibi yang nampak begitu siap untuk bertempur.
Seiring ucapan salam
perpisahan pada pak tua itu, Nur Bibi melesat dengan ringan mengejar musuh yang
terus mundur.
Sepertinya Nur Bibi ingin
menghabisi musuh-musuh itu sekuat tenaga yang ia miliki. Ia terus berlari
sambil melepaskan serentetan tembakan. Ia makin tak peduli lagi dengan nyawa di
raganya.
Kerudung putih di
kepala Nur Bibi mulai nampak merah oleh noda-noda darah akibat goresan dari
peluru-peluru balasan musuh yang mengundurkan diri itu.
Makin lama noda-noda darah di
kepala Nur Bibi itu makin memerah. Selama
masih ada tenaga, ia tak mau berhenti maju. Hingga akhirnya, serentetan
tembakan musuh mematahkan langkahnya. Tubuhnya oleng sebelum amberuk ke bumi.
Dari bibirnya terdengar suara keras....
“Alloooohu Akbar. Lailaha
illalloh Muhammadar-rosululloh....!”
Nur Bibi, gadis berumur 16
itu, telah menjadi syahidah.
Ia dimakamkan jauh terpencil sendirian di sahara wilayah Ferozai dekat Azakai
dalam wilayah Provinsi Kabul, Ibukota Afghanistan.
Hingga kini, kerudung putih
berlumur noda darah itu masih menutupi kuburan Nur Bibi dari terik matahari dan
hujan, serta sebagai saksi dan bukti perjuangannya...
Barokallohu lah.....
**********
No comments:
Post a Comment